Dua Puluh Lima

104 34 16
                                    

"Jadi bagaimana kehidupanmu di New York? Bagaimana Naomi?"

Pertanyaan Hana menarik Haru ke masa kini, dimana ia sedang duduk di balik mobil sedan milik ayahnya yang baru saja menjemputnya dari bandara Narita. Hana adalah orang pertama yang menginterogerasinya begitu ia masuk mobil. Haru sedang memandang keluar jendela ketika mendengar kakaknya bertanya untuk kesekian kalinya.

Haru lalu berpaling pada Hana yang duduk di sampingnya lalu tersenyum lebar. "Baik-baik saja. Naomi benar-benar membantuku selama berada di New York. Dia dan tunangannya akan menikah bulan ini tapi kubilang padanya aku tidak bisa memperpanjang visaku lebih lama. Lagipula masa terapiku sudah selesai."

"Syukurlah," Hana tersenyum senang sambil meremas sebelah tangan adiknya. "Bagaimana dengan terapinya? Cukup membantu?"

Haru mengangguk mantap kemudian mengusap permukaan tangan Hana. "Sangat membantu. Aku senang aku memutuskan untuk pergi ke sana."

"Jadi bagaimana perasaanmu sekarang? Dan apa rencanamu?"

"Kau tahu, kau berbakat menjadi terapis. Mungkin kau bisa menggunakannya sebagai rencana cadangan kalau memasak tidak cocok untukmu." Haru mengendus sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela.

"Maaf, maaf. Tapi aku benar-benar penasaran. Apa kau tidak bercanda soal... rencanamu untuk pindah ke Kumamoto?"

Pertanyaan Hana membuat ibunya yang duduk di depan menoleh ke belakang. Haru bahkan sempat melihat ayahnya melirik dari kaca spion.

"Benarkah? Kau bisa tinggal di rumah nenek! Itu ide yang bagus!" Suara ibunya yang penuh semangat membuat Haru ikut tersenyum.

"Terima kasih. Tapi, aku masih harus melakukan beberapa hal sebelum memutuskan. Jadi, aku belum yakin." Haru dapat melihat ibunya memanggut, tanda mengerti. Kemudian untuk beberapa saat yang lama, percakapan ibunya dan Hana tentang nenek di Kumamoto dan masa lalu mereka memenuhi seisi mobil sementara lagu-lagu lama berkumandang di latar belakang. Haru menggunakan kesempatan itu untuk memejamkan mata, berusaha untuk istirahat atau setidaknya menghindari hantaman pertanyaan kakaknya yang cukup melelahkan dengan berpura-pura tidur.

Satu tahun berlalu begitu cepat. Haru memilih New York sebagai tempatnya 'melarikan diri' dari situasi yang rumit. Salah satu alasannya adalah karena sepupu jauhnya Naomi Carter lahir dan besar di sana - ia tak perlu merasa asing dan terisolasi di negara yang begitu jauh. Naomi mengajaknya berkeliling New York, mengenalkannya pada budaya-budaya orang Amerika lalu akhirnya pada terapis kepercayaan yang juga menyembuhkan Naomi dari depresi pasca kepergian kedua orang tuanya.

Membicarakan soal luka lama, masa lalu dan bagaimana semuanya terjadi sungguh-sungguh bukan hal yang mudah bagi Haru. Haru menghabiskan beberapa bulan pertama menangis setiap malam, mengunci diri selama berhari-hari. Ia harus menyeret dan memaksa dirinya sendiri untuk kembali ke rumah sakit setiap akhir pekan dan ia bersyukur karena usahanya itu sama sekali tidak sia-sia.

Setelah melewati enam bulan pertama yang begitu menyiksa, Haru dapat merasakan perubahan-perubahan kecil dalam dirinya. Seperti bagaimana ia tak merasakan permukaan tangannya berkeringat resah saat berjalan sendiri malam-malam. Tubuhnya tidak lagi berguncang hebat ketika bersentuhan dengan pria secara tidak sengaja. Haru merasa lega ketika ia bisa bernapas lebih tenang dalam hujan. Kemudian, setelah ia akhirnya melewati beberapa bulan selanjutnya berjalan dengan percaya diri dalam kegelapan, saat itu Haru tahu kalau waktunya untuk pulang telah tiba.

"Jadi?"

Suara Hana membuatnya membuka mata. Haru mengerang dalam hati ketika ia lupa dengan niatnya untuk pura-pura tidur. "Hmm?"

"Jadi, apa rencanamu sebelum berangkat ke Kumamoto?"

Mendengar pertanyaan itu, Haru hanya tersenyum.

Spring Breeze - 春のそよ風Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang