Delapan

182 67 20
                                    

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Ai kepada Haru yang lagi-lagi mengecek layar ponselnya.

"Kenta," jawab Haru, singkat.

"Si anak SMA yang menyukaimu itu? Maksudmu Ueda?"

Haru mengangguk lalu membalas pesan yang lagi-lagi masuk dari Ryu.

Ai menyesap teh hangatnya lalu duduk di hadapan Haru di meja ruang tunggu karyawan sementara temannya sibuk menatap layar ponselnya sambil sesekali tersenyum dan terkekeh geli. Pemandangan itu membuat Ai yang baru saja bertengkar dengan Haruya tadi pagi mendapatkan suasana hati yang buruk.

"Sepertinya percakapan kalian benar-benar menyenangkan," sindir Ai dengan nada sebal.

"Tidak juga. Ryu memberitahuku tentang percakapannya dengan Kenta kemarin malam," jelas Haru sambil meletakkan ponsel di atas meja. "Lalu aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba membahas soal kartun pagi hari yang sering kami tonton sewaktu kecil."

"Bukannya aku tidak ikut senang dengan kemajuan yang kau buat. Kau harus tahu kalau di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku benar-benar senang melihatmu tersenyum melihat pesan dari seorang pria. Seorang pria! Jenis manusia yang biasanya membuatmu merasa terancam," kata Ai sambil bersedekap. "Tapi aku tidak bisa tersenyum bahagia sekarang karena-,"

"Pertengkeranmu dengan Haruya," lanjut Haru, setengah menyela. "Kau sudah memberitahuku dua kali."

"Karena itu, maksudku adalah...," Ai tiba-tiba bangkit berdiri dari bangkunya kemudian berjalan menghampiri Haru dan melanjutkan, "...bantulah temanmu ini untuk bersenang-senang sedikit."

Haru mengerutkan keningnya, curiga. "Kata-katamu terdengar menakutkan."

"Haruya bilang dia membutuhkan privasi dan kepercayaan dariku. Kita lihat saja apakah dia bisa melakukannya kalau aku melakukan hal yang sama." Ai bergumam sendiri lalu ia meletakkan selembar kertas di atas meja, sebuah selembaran dengan penuh warna dan desain yang mencolok.

Kedua mata Haru menyipit saat membaca tulisan raksasa yang tertera di sana, "Pertemuan kencan buta... apa? Kencan buta?!"

Ai mengangguk dengan mantap lalu melingkarkan lengannya di sekitar leher Haru. Lalu sambil menyeringai, Ai menjawab, "Kita akan menghadiri pertemuan kencan buta siang ini."

"Tapi, kau sudah bertunangan, Ai! Apa yang akan dipikirkan Haruya kalau sampai dia tahu?!" Haru setengah berbisik, memelankan suaranya meskipun ia ingin berteriak pada ide bodoh Ai yang ingin membalas dendam pada tunangannya sendiri.

Ai menggeleng-geleng. "Haruya tidak akan tahu. Tidak akan ada yang tahu selama kau menutup mulut. Dan lagipula, kalau pun dia tahu, aku akan memberitahunya kalau aku hanya menemani temanku yang sedang mencari jodoh."

Haru mengerjap, tidak mengerti. Ia hampir bertanya siapa teman itu ketika menyadari ialah yang dimaksud oleh Ai. Haru lalu mengerang dan menampis lengan Ai dari lehernya. "Tidak mau. Hidupku sudah cukup memusingkan untuk ikut campur dalam hubungan kalian yang rumit."

"Oh, pikirkan baik-baik, Haru. Kau tidak mau terpuruk lama-lama di dalam trauma yang gelap, bukan? Salah satu langkah awal untuk melawan trauma itu adalah dengan membuka diri. Membuka diri untuk kesempatan-kesempatan baru," jelas Ai sambil berjalan mondar-mandir di sekeliling ruang tunggu yang kosong. "Ada banyak pria baik di luar sana, pria-pria yang tidak akan pernah menyakitimu. Kau hanya belum menemukannya. Tidak, kau tidak mau menemuinya."

Penjelasan Ai yang bercampur dengan ocehan itu mendadak terasa seperti pukulan bagi Haru. Kemudian ia teringat akan ucapan Ryu malam itu, "Satu-satunya cara untuk mengalahkan rasa takut adalah dengan melawan rasa takut itu sendiri."

Spring Breeze - 春のそよ風Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang