Dua Belas

170 61 16
                                    

Suara denting alat makan di ruang makan kediaman Ueda terdengar sedikit menegangkan. Kenta menyantap makan malamnya dalam diam, bunyi televisi di ruang tamu samar-samar menjadi latar belakang. Ibunya, Fujii Mio, melirik puteranya dari seberang lalu berdeham kikuk. "Jadi, bagaimana pertemuannya? Apa Kenzo baik-baik saja? Dia... sehat?"

"Dia baik-baik saja," jawab Kenta, singkat.

Mio meragu sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya lagi. "Apa... yang kalian bicarakan?"

"Bu, hentikan. Aku sama sekali tidak ingin membicarakannya," jawab Kenta, menghentakkan alat makannya di atas meja. Kemudian ia berdiri hendak beranjak pergi ketika Mio menyerukan namanya.

"Ueda Kenta!" Mio mulai kehilangan kesabarannya. "Aku tidak pernah membesarkanmu menjadi seseorang seperti ini. Seseorang yang menyimpan dendam begitu lama dan bersikap begitu kekanak-kanakan."

"Berhenti membelanya, Bu!" Kini Kenta yang mengeraskan suaranya. "Ibu tahu betul kalau dia hampir membunuh seseorang yang tidak bersalah. Demi apa? Demi beberapa lembar uang 10,000 ribu Yen. Bukankah aku lebih baik darinya? Apa Ibu bermaksud membesarkan seseorang seperti itu?"

"Hentikan!!!" Mio bangkit berdiri, mengacungkan jari telunjuknya pada Kenta. Bibirnya terasa gatal, begitu banyak kalimat menyakitkan yang ingin ia lontarkan pada puteranya namun ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menahannya. "Semua orang pantas dimaafkan. Semua orang pantas mendapatkan kesempatan kedua. Kau seharusnya lebih baik dari ini, Kenta."

Setelah mengatakan itu, Mio meninggalkan Kenta berdiri mematung di ruang makan, memandang kekosongan tanpa bergeming sedikit pun.

Kenta tak mengerti jalan pikiran ibunya. Tuhan tahu sudah berapa banyak tindak kekerasan dan kriminal yang telah dilakukan oleh kakaknya. Tindakan-tindakan yang telah memenjarakannya selama bertahun-tahun. Korban-korban yang telah dirugikan Kenzo dan wanita-wanita tak bersalah yang hampir dicelakainya. Memikirkannya saja sudah membuat Kenta merasa geram.

Ibunya tentu saja hanya memikirkan putera kandungnya. Bagaimana dengan orang-orang di luar sana yang mengalami hari-hari yang buruk setelah bertemu dengan Kenzo? Orang-orang yang harus berperang melawan trauma yang begitu membekas sampai-sampai tidak mau hidup lagi. Ibunya tentu saja tidak memikirkan orang-orang itu. Tapi Kenta selalu memikirkannya. Merasa bersalah dan harus bertanggung-jawab.

Kenta menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan kasar. Setelah menenangkan diri, ia membereskan piring-piring sisa makan malam di atas meja dan mencucinya, tak menyadari keberadaan Mio yang memandangnya dari ambang pintu dapur sambil meneteskan air mata.

***

"Aku sudah mengganti perban nyonya Nishimura di kamar 502. Aku juga sudah mengembalikan bayinya ke ruang bayi agar beliau bisa istirahat. Beritahu aku kondisinya nanti malam agar aku tahu apa yang harus kulakukan besok," ucap Haru kepada salah satu suster yang mengambil alih shift-nya.

"Baiklah. Aku akan mengirimimu pesan. Sampai besok."

"Sampai besok," Haru melambaikan sebelah tangan pada rekan kerjanya kemudian memasuki lift dan turun ke lantai satu.

Haru sedang berjalan menuju pintu keluar lobi sambil menunduk, memandang layar ponselnya ketika ia merasakan sentuhan di bahunya yang membuatnya menoleh.

"Kau bisa terperosok jatuh kalau berjalan sambil bermain ponsel."

Kedua alis Haru terangkat naik ketika mengenali orang yang baru saja memanggilnya. "Ryu-kun?!"

"Kenapa? Seperti melihat hantu saja."

Haru hampir tersenyum saat lelaki itu bicara. Kemudian ia mengerutkan kening, "Bukankah aku sudah memberitahumu untuk tidak datang hari ini?"

Spring Breeze - 春のそよ風Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang