Sembilan Belas

111 36 9
                                    

Pintu kaca tembus pandang yang berada di hadapannya terbuka secara otomatis ketika ia menginjakkan kaki di lantai dasar gedung Rumah Sakit Central Tokyo. Haru kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah masuk. Orang pertama yang menyambutnya ketika ia berhasil mencari ruang rawat ayahnya adalah kakaknya, Ogawa Hana, yang kemudian berlari kepadanya dan memeluknya dengan erat.

"Haru!"

Pelukan itu begitu erat dan hangat, Haru seolah merasa seperti gadis kecil yang berhasil ditemukan setelah hilang selama berhari-hari. Ia merasakan rasa lega yang mengalir dalam pelukan kakaknya.

"Haru, bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja? Oh, aku sangat merindukanmu," ucap Hana sambil mencengkeram erat-erat bahu Haru dan menatapnya dalam-dalam.

"Onee-chan? Bukankah kau seharusnya berada di Sydney?" Haru bertanya sambil menarik diri.

Hana menggeleng, pelan. "Lamaran magangku belum dijawab. Dan meskipun aku diterima, aku mungkin akan berangkat akhir tahun. Saat musim panas di sana baru dimulai."

"Musim panas?"

"Ya, musim di Australia bertolak-belakang dengan musim di Asia," jelas Hana singkat. Kemudian ia menarik Hana ke depan pintu kamar ruang rawat ayahnya dan menarik napas, "Haru, ayah baik-baik saja. Dokter bilang dia mengalami serangan jantung ringan saat pingsan di rumah."

Kedua mata Haru melebar kaget. "Pingsan? Apa yang terjadi?"

"Kami kedatangan tamu. Seseorang dari kantor polisi."

Haru mengerutkan alisnya, tidak mengerti. Lalu tepat saat ia membuka mulut hendak bertanya, pintu ruangan terbuka dan ibunya berdiri di ambang pintu.

"Haru?" Ibunya melangkah ragu-ragu. Haru dapat melihat ibunya menyeret kedua kakinya yang bergetar samar lalu perlahan-lahan mengangkat kedua tangannya untuk meraih wajah Haru. Kini tetesan air mata membasahi pipinya dan membuat Haru semakin bingung.

"Ibu... jangan membuatku takut. Apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah?" tanya Haru sambil sesekali melirik Hana yang mulai mengusap wajahnya yang basah.

"Puteriku...," panggil ibunya dengan suara yang bergetar, "...Haru, kau pasti merasa kesepian selama ini... menanggung semuanya sendiri... aku tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya kau sendirian... kenapa kau tidak pernah bercerita pada Ibu?"

"Apa? Ibu, aku tidak mengerti," gumam Haru, namun pandangannya tertuju pada Hana yang berusaha untuk tetap tersenyum.

"Haru, kami telah mendengar semuanya. Apa yang terjadi padamu... Inspektur Watanabe mengunjungi kami," jelas Hana dengan suara parau.

Haru membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencerna ucapan kakaknya. Apa yang terjadi padanya... kunjungan Inspektur Watanabe... itu berarti menyangkut kecelakaan yang dialaminya bertahun-tahun lalu. Mimpi buruknya dan ketakutan terbesarnya serta aib yang telah berusaha ia kubur dalam-dalam dari keluarganya sendiri.

Haru melepaskan tangan ibunya dari wajahnya. Lalu ia merasakan kedua kakinya melangkah mundur. Aliran rasa panas yang menjalari permukaan kulitnya perlahan-lahan membuat kedua matanya perih. "Tidak... itu tidak seperti yang Ibu pikirkan... aku, dia... lelaki itu..." Haru merasakan napasnya tercekat sebelum akhirnya genangan air di pelupuk matanya mulai jatuh membasahi pipinya. "Aku... maafkan aku, Ibu. Aku tahu Ibu pasti begitu malu mendengarnya. Begitu marah karena aku sudah tidak lagi... aku tidak seperti Hana. Aku... aku..."

Tepat saat itu, Haru membiarkan dirinya menangis. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti melepaskan begitu banyak beban berat yang selama ini memberatkan bahunya. Beban yang mencengkeram langkah kakinya begitu hebat. Rasa sakit serta amarah yang begitu lama terpendam, mengalir begitu deras bersama aliran air matanya saat Haru terjatuh di lantai.

Spring Breeze - 春のそよ風Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang