Dua Puluh Tiga

110 34 12
                                    

"Tahanan 5631! Kunjungan!"

Ueda Kenzo memaksa kelopak matanya untuk terbuka setelah usahanya yang payah untuk tidur. Ia bangkit berdiri dan berjalan melewati pintu jeruji yang dibuka oleh petugas. Langkah kakinya terasa lebih berat dari biasanya dan tentu saja itu disebabkan oleh belasan jam bekerja di tambang penjara.

Kenzo merasakan tekanan kuat pada kedua pergelangan tangannya. Petugas penjaga sel mengunci borgol dengan kuat sebelum membiarkannya berjalan menyusuri koridor sel yang selalu tampak suram. Beberapa tahanan mengulurkan sebelah lengannya, melambaikan tangan padanya sambil tertawa. Tawa itu lebih terdengar seperti pekikan yang berteriak minta tolong. Kenzo hanya menyunggingkan senyum tawar.

Pintu ujung koridor terbuka, kemudian ia dibawa menuju sebuah ruangan yang dibatasi oleh dinding pembatas baja yang diberi jendela kaca anti pecah. Jendela kaca itu dibagi menjadi tiga bagian - dimana para tahanan diperbolehkan untuk bicara dengan pembesuk lewat alat seperti gagang telepon. Kenzo diarahkan - atau lebih tepatnya, dipaksa duduk - di salah satu bangku di sebelah kiri barisan. Dan begitu ia duduk di sana, ia dapat melihat seorang pria bertubuh jangkung, memandangnya dengan kedua mata terbuka lebar. Tatapannya syok, seperti baru saja melihat hantu.

Melihat pria itu, Kenzo melirik petugas keamanan yang berdiri di belakangnya. "Kau yakin kau tidak salah orang kali ini? Ke mana adikku?"

"Mereka hanya memperbolehkan satu orang saja untuk masuk," jawab pria yang duduk di seberangnya lewat gagang telepon. "Adikmu... Kenta sedang menunggu di luar."

Kenzo mengerutkan kedua alisnya yang bertindik dengan bingung. Setelah menatap wajah lelaki itu cukup lama, Kenzo akhirnya memutuskan untuk mengangkat gagang telepon dan menempelkannya di telinga. "Aku tidak mengenalmu. Apa kau salah satu orang yang pernah membeli obat-obatan dariku?"

***

Reaksi itu membuat Ryu mengeraskan rahangnya kuat-kuat. Ia memang telah membayangkan wajah seorang kriminal ketika mempersiapkan diri untuk bertatap muka dengan pelaku yang telah melukai Haru. Tapi ia tidak pernah berpikir kalau laki-laki di balik kasus itu adalah seorang lelaki sepantarnya dengan wajah yang begitu serupa dengan salah satu murid yang ia sayangi.

Ia seperti melihat wajah Kenta - dengan berbagai macam tato hampir di seluruh permukaan kulit serta tindikan di alis, bibir dan hidungnya. Kedua matanya tak memancarkan sinar kehidupan - begitu kosong dan tak bernyawa. Lelaki itu sesekali tersenyum samar, senyuman yang terlihat begitu masam dan... kejam. Sesaat, Ryu bertanya-tanya apakah lelaki itu tersenyum seperti itu saat... saat Haru berteriak minta tolong dalam kegelapan malam itu.

"Oi!"

Ryu tidak berkedip ketika mendengar Kenzo berseru. Ia menelan ludah sebelum menarik napas dan menjawab, "Kenta, adikmu begitu cerdas. Aku yakin kau tidak tahu itu karena satu-satunya hal yang kau pikirkan adalah bagaimana kau bisa memuaskan nafsumu dan siapa korban selanjutnya."

"Cih. Aku tidak punya waktu untuk ini." Kenzo menggeleng-geleng sambil memutar bola matanya, kesal.

"Aku adalah lelaki yang akan menikahi salah satu wanita yang telah...," Ryu berhenti sejenak, menggigit bibir lalu, "...kau sakiti. Setidaknya itu yang kuyakini saat dia kembali. Dia harus pergi, meninggalkanku untuk menyembuhkan lukanya. Luka yang kau berikan kepadanya, malam itu di pinggir jalan yang gelap dan sempit. Kau tidak berhenti, meski aku yakin dia berusaha berteriak, menjerit minta tolong."

"Hentikan omong kosongmu. Aku tidak punya waktu-,"

"Oh, aku yakin kau punya banyak waktu," sela Ryu. "Banyak sekali waktu untuk berpikir atau membayangkan kalau hal yang sama bisa saja terjadi pada ibumu."

Spring Breeze - 春のそよ風Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang