Dua Puluh

110 35 7
                                    

"Terima kasih," Haru mengulurkan lembaran uang kertas kepada supir taksi yang ia tumpangi sebelum akhirnya melangkah turun dari mobil di depan gedung apartemennya. Bunyi burung yang berdecit di pagi hari menyambut kedatangannya ketika menginjakkan kaki turun. Ia merogoh isi tasnya sambil berjalan menaiki tangga menuju pintu apartemennya sambil berdumal, "Ugh, kenapa semua benda menghilang saat dicari?"

"Mungkin kau begitu sibuk sampai melupakan fakta kalau kau meninggalkan kunci rumahmu padaku?"

Suara itu. Haru mengerjap kemudian mengangkat wajah ke arah pintu apartemennya yang kini dihalangi sosok pria yang berdiri menjulang, menatapnya dengan alis berkerut, marah. Haru menelan ludah sebelum menjawab, "Y-ya, aku lupa memberitahumu kalau aku dapat shift malam."

"Tidak," sela Ryu sambil berjalan mendekat pada Haru dengan langkah cepat. "Kau tidak ada di sana semalam. Kau pikir aku tidak akan mendatangi tempat kerjamu saat kau tidak bisa dihubungi selama hampir 24 jam?"

Haru mencoba membalas tatapan Ryu yang kini memandangnya lurus-lurus. Tatapan itu begitu tajam, begitu menusuk dan agak menakutkan bagi Haru yang tingginya hanya mencapai bahu Ryu.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ryu setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam.

"Ayahku dirawat di rumah sakit. Aku harus berada di sana semalaman." Haru mencoba menjelaskan sambil berjalan menuju pintu apartemennya. Kemudian ia berbalik sambil mengulurkan sebelah tangan pada Ryu, "Berikan kunciku."

Ryu masih mematung, melupakan fakta kalau sebelah tangannya yang tidak dibebat sedang mencengkeram kunci apartemen Haru sekuat tenaga di dalam saku celananya. Upaya itu begitu payah dibanding dengan perasaannya yang berkecamuk di dalam dirinya. Setelah menarik napas dalam-dalam, Ryu melemahkan cengkeraman tangannya lalu mengulurkan kunci apartemen kepada Haru.

Haru membuka pintu kemudian menepi sambil menyahut, "Masuklah, udara agak dingin pagi ini."

Ryu menuruti ucapan Haru. Ia berjalan masuk, melepaskan sepatunya sambil lalu kemudian duduk di balik meja kotatsu di ruang tamu sementara Haru memanaskan air untuk dua cangkir teh. Haru hanya bisa berdiri memunggungi Ryu yang duduk menghadapnya. Rasanya begitu aneh, merasakan serangan aura menakutkan dari balik bahunya. Haru bisa merasakan Ryu memelototinya dengan tajam bahkan tanpa memutar badan. Ia menggigit bibirnya cukup kuat saat menuangkan air mendidih ke dalam cangkir teh.

Haru meletakkan nampan plastik berisi cangkir di atas meja kotatsu lalu duduk bersimpu di hadapan Ryu yang kini menatap permukaan meja dalam diam. Ryu tak bergeming, tatapannya kosong dan tak berekspresi. Sinar kecemasan yang membara di matanya mendadak lenyap dan tiba-tiba saja Haru jadi merasa bersalah.

Lima menit yang terasa seperti berjam-jam berlalu dalam keheningan. Haru mengerutkan keningnya lalu memberanikan diri menatap Ryu. "Katakan sesuatu. Kau membuatku takut."

"Aku sedang berusaha," jawab Ryu pada akhirnya. "Aku sedang berusaha untuk mencari tahu apa yang kurasakan saat ini."

"Apa maksudmu?"

Tatapan Ryu masih terpaku pada permukaan meja di hadapannya saat menarik napas dalam-dalam dan menjawab, "Aku berusaha mengerti mengapa aku begitu marah saat kau tidak menjawab teleponku. Mengapa aku merasa lega dan begitu ingin memelukmu saat melihatmu baik-baik saja, tidak terluka... tidak celaka... tidak seperti apa yang kutakutkan, apa yang kubayangkan semalaman."

"Kupikir kau begitu sibuk dengan kencanmu jadi aku tidak ingin mengganggu." Haru langsung menyesali ucapannya yang tidak dapat ditarik lagi.

"Aku begitu ingin tahu kenapa kau menyebutnya kencan?" tanya Ryu, kali ini menengadah sambil melipat tangan di atas meja.

Spring Breeze - 春のそよ風Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang