Tujuh

186 69 15
                                    

Haru memandang punggung Ryu yang berjalan beberapa langkah di depannya. Ia dan Ryu sedang menaiki tangga penghubung pintu keluar dengan gerbang stasiun Takadanobaba. Lalu langkah kakinya terhenti ketika ia tiba-tiba teringat ucapan Ai. "Kalau firasatku benar, dia akan menjadi teman yang sangat istimewa bagimu." Haru tertegun selama beberapa detik yang lama sebelum akhirnya mengangguk mantap. Tidak ada salahnya berteman dengan Ryu. Lagipula, Ryu adalah teman masa kecilnya. Tidak ada hal buruk yang akan terjadi dari berteman dengan teman lama, bukan?

Haru berdeham ketika ia dan Ryu tiba di puncak anak tangga. "Aku lapar," cetus Haru. Ryu menoleh pada Haru lalu mengeluarkan ponselnya. Sebelum sempat Ryu menyentuh layar ponselnya, Haru lebih dulu merampasnya sambil berkata, "Kau boleh bicara denganku."

Ryu mengerjap lalu mengambil beberapa langkah menjauh dari Haru. "Benarkah? Kau tidak akan memukulku atau menuntutku karena melanggar isi kontrak?"

Haru menggeleng, "Aku akan merubah isi peraturannya."

"Jadi kau akan menghapus peraturan nomor dua?"

Peraturan nomor dua? Oh, peraturan tentang larangan komunikasi verbal. Ketika mengingatnya, Haru mengangguk. "Ya. Jangan banyak bertanya sebelum aku berubah pikiran."

Ryu tersenyum penuh kemenangan. Ia tak tahu kalau hal yang begitu sepele bisa membuatnya begitu bahagia.

Haru kemudian memimpin langkah, berjalan memasuki sebuah kedai ramen kecil yang terletak berseberangan dengan gerbang pintu keluar stasiun, di sebelah klinik dokter gigi. Tempat itu begitu sempit - lorong tempat berjalan hanya bisa dilewati satu orang. Deretan meja untuk dua orang terletak di pinggir tembok dan Ryu bisa melihat pekerja-pekerja kantoran yang datang sendiri, duduk di bangku tinggi meja yang berhadapan dengan dapur terbuka. Haru dan Ryu menempati salah satu bangku kosong di sana, duduk bersebelahan.

"Kau sering makan di sini?" tanya Ryu ketika dua mangkuk ramen panas diletakkan di atas meja.

Haru menggeleng sambil memberikan sumpit serta sendok plastik kepada Ryu. "Kadang-kadang, kalau ada yang menemani."

Kalimat itu mengundang rasa ingin tahu Ryu. "Apa itu berarti kau kadang-kadang mengajak salah satu pengawal sewaanmu?"

"Tidak, tentu saja tidak. Hubunganku dan para pengawal sewaan itu benar-benar profesional. Kami tidak bicara satu sama lain, bagaimana mungkin aku mengajak mereka makan?" Haru menjawab sambil mengaduk isi ramennya.

Ryu bernapas lega sambil tersenyum senang. Bukankah itu berarti ia orang pertama yang dibawa Haru ke kedai ini?

"Oh! Kecuali Kenta." Haru membetulkan. "Aku kasihan pada anak itu. Kadang-kadang sepertinya ia kelihatan seperti anak kucing kelaparan. Jadi aku sesekali mengajaknya makan bersama."

Perasaan lega yang memenuhi dada Ryu mendadak lenyap begitu mendengar nama Kenta.

Haru memesan shoyu ramen, menu yang selalu dipilihnya ketika mampir ke kedai ramen. Menu itu makanan kesukaannya sejak kecil, tapi begitu melihat gyoza yang dihidangkan di atas ramen pesanan Ryu, untuk pertama kalinya Haru merasakan secercah penyesalan. Kemudian tanpa berpikir dua kali, Haru menusuk salah satu gyoza dengan sumpitnya lalu menjejalkannya ke dalam mulut. "Hmm! Enak!"

Ryu mengerutkan alis, sebal. "Apakah salah satu kelebihanmu adalah mencuri makanan orang lain? Aku hanya diberi tiga gyoza goreng dan sekarang tinggal dua!"

"Kau boleh mencicipi milikku kalau kau mau," Haru menjawab sambil mengunyah dan mengendikkan bahu.

Ryu mendesah kesal lalu menggeser mangkuk ramennya jauh-jauh dari Haru. "Lupakan saja."

Spring Breeze - 春のそよ風Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang