Chapter 1

3.8K 193 0
                                    


Suara gemericik air mengalun lembut menyapa telinga. Arusnya melewati setiap bebatuan besar yang walaupun tampak kokoh, namun dengan mudah terkikis air seiring waktu. Terdengar pula suara lemparan bebatuan kecil menyelam ke dasar sungai.

Tangan seorang gadis muda dengan kulit putih nan cerah seperti matahari pagi lah pelakunya. Secara asal, ia melempar batu-batu itu ke air, seolah mengukur seberapa dalam sungai itu.

Netra hitam keabuan Mikasa menatap langit di atasnya, melihat betapa luasnya langit itu membentang melewati cakrawala bermotif awan putih. Menyibakkan rambut sekelam malam di belakang telinga ia mendesah, bertanya sudah berapa lama ia berada di bawah pohon pinggir sungai di selatan distrik Karanese dinding Maria. 

Sudah hampir 4 tahun, ia dan anggota Survey Corps lain bermukim di daerah itu. Selain dekat dengan pusat pemerintahan kerajaan dan Ratu, kondisi dinding Maria sekarang masih dalam tahap perbaikan. Dan selagi menganggur, para anggota Survey Corps diminta untuk membantu proses pembangunan kembali. Mikasa, Eren, Armin, Jean, Sasha dan Connie bertugas untuk membuat jalur rel kereta untuk mempermudah transportasi.

Dengan bantuan para relawan Marleyan, sedikit demi sedikit Paradis bisa mengejar ketertinggalan kemajuan teknologi mereka dari dunia. Walau dulu banyak pihak yang tidak pro terhadap kerja sama tersebut, tapi semua akhirnya tetap menerima.

Tidak menyia-nyiakan waktu istirahatnya, Mikasa lalu merebahkan tubuhnya di atas rumput berpayungkan pohon sambil menikmati semilir angin berhembus menerpa tubuhnya yang letih bekerja seharian. Hampir saja ia memejamkan mata, sebelum suara familiar menginterupsi gendang telinganya.

"Bukankah ini mengingatkan akan kampung halaman kita di Shiganshina? Dulu kita sering bermain dan mencari kayu bakar, di dekat hutan dan sebelum pulang kita selalu beristirahat di bawah pohon seperti ini."

Netranya menatap pria berambut kecoklatan sebahu dan bermata hijau zambrut itu dengan saksama. Dalam hati ia berfikir, waktu rasanya cepat sekali berlalu. Usia mereka sekarang sudah menginjak 18 tahun. Saat tumbuh bersama pria ini, kenapa jadi kentara sekali perbedaan fisik mereka. Padahal ia dan Eren dulu memiliki tinggi yang sama, tapi lihatlah sekarang. Pertumbuhan pria memang mengerikan. Walau pertumbuhan tinggi Eren tak semengerikan Connie yang memanjang 22cm.

"Nee Mikasa. Menurutmu apa rencana yang akan dilakukan Hanji-san dan pihak militer setelah perundingan kita ditolak oleh Hizuru dan dunia?"

"Entahlah. Mungkin yang dikatakan pihak Hizuru tentang ancaman rumbling itu bisa dilakukan. Setidaknya kita bisa mengulur waktu sampai 50 tahun dan membuat persejataan kita semakin kuat jika bekerja sama dengan klan Azumabito untuk mengahadapi ancaman di masa depan."

Mikasa menjawab pertanyaan Eren dengan sedikit keraguan di hatinya. Ia pun sama bingungnya dengan Eren saat ini dalam menghadapi dunia. Dunia selalu menganggap Paradis adalah tempat para iblis yang bisa berubah menjadi titan. Itulah mengapa mereka selalu menolak perdamaian yang ditawarkan pihak Paradis. Tapi mereka juga tidak ingin terjadi perang.

Beranjak dari duduknya, ia melangkah pergi sambil berkata, "Aku hanya ingin menjalani kebebasan. Hidup bersama kalian membuatku bahagia. Aku ingin merebut kembali rumah kita."

Jeda sejenak, Eren menatap Mikasa dengan perasaan pilu yang membuat Mikasa terenyuh. 

"Aku hanya ingin kembali ke masa di mana semua dimulai. Bersamamu dan Armin. Tapi rasanya semua sudah tidak seperti dulu, walau sudah mendapat kembali rumah kita. Apa kita akan bisa hidup tenang walau kita kembali ke rumah?"

Menatap kepergian Eren, Mikasa hanya bisa menunduk. Memikirkan semua yang telah ia lalui selama ini bersama Eren dan teman-temannya, membuat ia sakit. Kenapa ia tak bisa hidup damai nan tenang? Berapa banyak lagi ia harus berkorban? Cairan bening menetes dari kelopak matanya melewati pipi, membuat pipi seputih porselen itu merona. Akhir-akhir ini ia mudah menangis. 

FriedenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang