Chapter 10

2.1K 117 31
                                    

Sore itu hujan. Bahkan setelah semalaman airnya turun, belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Aroma tanah yang basah tersiram air langit masih begitu jelas tertanam dalam memori Levi. Keadaan yang menurutnya sangat menguntungkan, mengingat bau titan yang menguap berkumpul menjadi satu di udara membuat perutnya mual.

Sejak kemarin ia kembali dari ekspedisi, ia harus mengurus titan-titan yang tersisa di distrik Trost, lalu sekarang ia sudah disuruh lagi menjadi penjaga seorang bocah. Sedetikpun Levi belum memejamkan mata hanya untuk sekedar tidur.

Setidaknya biarkan dia menikmati acara minum teh favoritnya.

Tapi fakta yang paling Levi benci adalah ia tidak merasa lelah meski tubuhnya kurang istirahat. Kekuatan luar biasa untuk ukuran manusia. Kelebihan yang seharusnya patut untuk disyukuri, namun kadang pula menjadi bencana.

Para prajurit tampak berlalu lalang, gedung persidangan itu tidak begitu luas, sehingga untuk berjalan saja ia harus menyenggol orang-orang.

Kebanyakan dari mereka hanya Polisi Militer yang hobi menggerutu. 'Dasar babi pemakan kotoran!'

Semua orang di militer juga tahu, bahwa pekerjaan Polisi Militer hanya mondar-mandir tak jelas di dalam dinding, tapi bertingkah sok paling berkuasa dari semua divisi. Apalagi belakangan ini mereka selalu mengusik Survey Corps. Levi membencinya.

"Jadi, kau ingin aku menghajarnya?"

"Ya. Jika ini berjalan sesuai rencana, kita akan bisa mengambil Eren."

Pria pirang jangkung di depannya hanya menjawab pertanyaan Levi tanpa menoleh. Orang yang sulit sekali untuk dibaca. Bahkan untuk dirinya sendiri yang notabenenya adalah teman dekat. 

Levi berbelok kiri di sisi tangga dan bergegas menuju pintu yang dilalui para Polisi Militer, sebelum telinganya menangkap percakapan kecil di belakangnya.

"Eren akan baik-baik saja." 

Fokusnya masih ke depan, tapi telinga nya mendengarkan. Ternyata menyangkut si bocah titan. Mungkin mereka teman-temannya. Pembicaraan berakhir, hanya terdengar suara langkah kaki yang tersisa. Rasa penasarannya membuat Levi menoleh ke tempat percakapan itu berasal.

Bocah pirang imut dengan potongan rambut bob, memiliki wajah bulat, dan bermata besar.  'Dia laki-laki atau perempuan?' Levi membatin bingung.

Dan seorang lagi yang lebih jangkung, berambut hitam sebahu. Kulitnya pucat, sangat kontras dengan rambutnya. Wajahnya unik. Perpaduan yang belum pernah Levi lihat sebelumnya. Rahangnya tegas tapi tatapannya teduh. Tidak mirip dengan orang-orang di dalam dinding. 

Matanya mengerjap. Cantik. Kata yang seketika terlintas di kepala Levi. Bintang-bintang berkedip di matanya karena takjub.

Dan itulah pertama kalinya Levi bertemu Mikasa Ackerman.

.

.

Derak ranjang bergema di antara suara ombak yang menabrak dinding kapal. Ruangan temaram itu menjadi saksi biksu atas perbuatan kedua insan yang tengah bergumul saat ini.

Mikasa menaik turunkan tubuhnya, mengatur tempo gerakannya dengan ritme yang ia ciptakan sendiri. Jika sebelumnya Levi selalu mendominasi permainan mereka dengan gerakan cepat, maka dengan posisi seperti ini ia bebas melakukan apapun yang ia inginkan. 

FriedenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang