Chapter 12

1.7K 105 29
                                    

"Sudah pagi. Apa kau tidak mau bangun?"

Mikasa yang bingung dengan keadaan, memperhatikan sekeliling. Hanya kamar dengan ukuran 4x4 meter berdinding kayu yang mengelilinginya.

"Mikasa."

Saat dipanggil, ia mengangkat kepalanya dari posisi meringkuk di atas kasur, mengenakan gaun putih selututnya.

"Ayo makan. Kupikir kau terlalu lelah, jadi aku membuatkanmu sarapan. Tapi aku tidak yakin dengan rasanya."

Peralatan makan berdenting, Eren yang membawa makanannya sendiri, meletakkannya di meja sudut ruangan dan duduk di atas kasur bersama Mikasa. Ia kemudian memberikan makanan yang satunya kepada Mikasa di atas nampan.

Melihat Mikasa yang melamun, Eren menghentikan gerakannya.

"Ada apa?"

Eren mengamatinya dan benar-benar terkejut.

"Kenapa kau menangis Mikasa?"

"Aku tidak tahu, apakah aku seharusnya berada disini?"

Eren mendekat, duduk kembali di sisinya. "Kenapa?" Dia bertanya sambil menggigit bibir.

Mikasa mengalihkan tatapannya, seakan tenggelam dalam pikirannya. Saat matanya bertemu dengan mata hijau zamrud Eren, Mikasa menyipit pada cahaya yang sedikit menyilaukan. Ia diam tanpa menjawab.

"Iya. Kita tidak bisa melakukan apapun dan melarikan diri seperti ini. Sudah dua bulan sejak kejadian di Liberio, mereka pasti akan menyerang Paradis tak lama lagi. Aku tidak bisa membuat pilihan. Antara rumbling atau mengorbankan Historia untuk ternak anak. Armin mungkin sedang mencari kita."

Ia menatap matanya. Bola mata yang tampak seperti obsidian atau langit malam menatap Eren. Nafasnya berhenti sejenak. Eren meraih pundak Mikasa dan memeluk erat tubuhnya. Wajah kemerahan yang murni menonjol di pipinya saat Eren melakukan kegiatan yang menurutnya canggung itu.

"Jadi, mari kita habiskan sisa empat tahun hidupku dengan damai. Hanya kita berdua."

"Iya. Maaf aku sudah janji tidak akan membahas ini lagi."

Mikasa membalas pelukannya. Menautkan kedua tangan nya melingkari tubuh hangat pria di depannya. Jadi, inilah keputusan yang dipilihnya?

"Rasanya sudah lama sekali."

Eren melepas pelukan itu hendak melanjutkan kegiatan sarapannya yang sempat tertunda. Tapi matanya teralihkan pada Mikasa mengambil syal yang semula terlipat rapi di atas meja, lalu memakainya.

Saat melihat syal itu, mata emerald Eren meringis dengan getir. "Kau…masih menyimpan itu?"

Mikasa menautkan syal itu di lehernya, merasakan kehangatan yang menjalar di setiap ujung benang yang menggesek kulitnya.

"Ayo kita makan."

Mikasa memperhatikan makanan yang disodorkan Eren padanya. Penampilannya membuat Mikasa tidak yakin. Bubur sayuran berwarna-warni dengan irisan daging atau bagian tubuh hewan yang ia tak yakin apakah itu. Mikasa mengambil sesendok lalu memasukkan makanan lembek itu ke dalam mulutnya. Hampir saja ia muntah dengan tidak elit saat merasakan cita rasa bubur yang menghancurkan indra pengecap nya.

FriedenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang