Chapter 4

2.5K 144 10
                                    

Rasa dingin mulai mengusik indra peraba Mikasa, membuat bulu kuduk di sekujur tubuhnya meremang. Sekedar mencari kehangatan, tubuhnya bergerak gelisah kesana kemari, tangannya menggapai selimut putih yang tak seberapa tebalnya yang biasanya ia gunakan untuk menghangatkan tubuh.

Tak berhasil, Mikasa menyerah. Di mana selimut itu? Badannya terlalu malas untuk bangun dan matanya terlalu berat untuk membuka, kepalanya pusing sekali. Namun daripada ia mati konyol, ia memaksakan mata mengantuknya terbuka. Tidak mungkin kan, seorang Mikasa Ackerman dikabarkan meninggal karena kedinginan?

Perasaan ia tak pernah mematikan lampu pijar bila tidur, tapi kenapa kamarnya gelap sekali? Hanya ada sedikit cahaya yang menyeruak masuk ke sela-sela jendela.

Saat hendak bangun, sesuatu menggelitik punggung kanan Mikasa. Hm, ternyata cuma rambut. Menyentuh setiap helainya, lalu Mikasa menyadari, sejak kapan rambutnya jadi sepanjang ini? Tunggu dulu, apa dia sudah gila atau benar ada orang selain dirinya di tempat tidur itu?

Mikasa membalikkan badannya perlahan. Berharap yang dilihat di depannya ini bukan sekedar bukan bunga tidur. Seorang pria tengah tidur menghadap dirinya menempel pada sisi punggung Mikasa. Tapi yang lebih membuatnya tercengang adalah pria itu telanjang dada dengan bagian bawah yang sama nasibnya.

Mata Mikasa bergulir pada dirinya sendiri, astaga dia juga sama seperti pria itu, tanpa seutas benang pun yang melekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mata Mikasa bergulir pada dirinya sendiri, astaga dia juga sama seperti pria itu, tanpa seutas benang pun yang melekat. Hampir saja ia berteriak, sebelum kecepatan tangan nya telah siaga dengan segera membungkam mulut gadis itu.

Pria itu kaptennya. Levi Ackerman. Apa yang terjadi? Berani-beraninya dia tidur di kamarnya dan melakukan hal seronok pada dirinya. Hampir saja ia menampar pria itu. Sebelum menyadari sesuatu, ia sedang tidak berada di kamarnya. Walau kamar setiap prajurit hampir sama, tapi detail bagian kamar ini jelas bukan miliknya.

Ia perlahan beranjak turun dari kasur, berusaha mencari pakaian yang sebelumnya ia kenakan di tengah minimnya cahaya. Jam berapa ini? Apa masih tengah malam? Entahlah, yang ingin cepat dia lakukan saat ini hanyalah segera pergi dari tempat itu.

Mikasa berhasil menemukan gaun tidur putihnya tergeletak tak berdaya di lantai. Lalu di mana pakaian dalamnya? Ia berhasil menemukan bra nya, namun pengait bra itu rusak. Tidak bisa digunakan lagi. Di mana celana dalamnya? Kepalanya yang pusing tidak membantu sama sekali.

Lenguhan pelan di ranjang, menyadarkannya kembali. Hampir saja ia berhenti bernafas, mengira Levi akan bangun. Ia harus segera pergi dari tempat ini. Memakai gaunnya secepat kilat, sedang tangannya membawa bra koyak itu.

Berusaha meraih pintu dan kabur, ia berjalan perlahan-lahan agar tak menimbulkan suara. Akhirnya ia keluar juga. Untung saja hari masih gelap, jadi ia tak perlu repot bertemu orang-orang di pagi hari yang mungkin saja berlalu lalang, lalu menanyakan perihal dirinya yang baru saja keluar dari kamar kaptennya.

Mikasa berlari secepat kilat, matanya mengawasi sekitar berharap tidak ada siapapun yang melihat dirinya. Hingga ia berhasil sampai di kamarnya, menutup pintu dan melempar tubuhnya ke kasur. Rasanya lelah sekali dan kepalanya pusing memikirkan semua yang baru saja terjadi.

FriedenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang