Empat; sebagian kenyataan

2.8K 424 22
                                    


"Aku gak akan di apartemen dulu sampe akhir minggu ini selesai," ujar Junio di sambungan teleponnya. Terdengar jawaban mengguman dari seberang.

Tangannya masih mengaduk sedikit bubuk teh yang berputar-putar di cangkirnya.

"Oke, gak apa-apa kok. Selesain aja urusan di sana dulu." Nadhi menjawabnya dengan tenang. Mereka sudah melalui ini sekian lama untuk sama-sama bisa mengambil sikap bahwa satu akhir minggu yang terlewat bukanlah masalah berarti. "Tapi minggu depan aku kayaknya bakal seminggu di Surabaya."

Junio menatap cangkirnya nanar. Meneguk ludah sebelum menjawab. "Oke."

Jawaban yang meronta di bibirnya untuk meminta Nadhi tak pergi ditelannya kembali bersama tegukan panas teh herbal itu. Mereka terdiam dalam detik-detik berikutnya.

"Gimana persiapan ulang tahun perusahaan?" Nadhi kembali membuka topik, suaranya ringan.

Junio memijit pelipis mengingat daftar panjang tamu eksekutif yang belum disentuhnya sama sekali.

"Annoying." Jawabnya pendek, blak-blakan. Sesuai dengan karakteristiknya jika dia memang sudah muak dengan sesuatu.

"Kamu bisa ah," Nadhi menyemangati.

Kekasihnya berdecak, "Siapa yang bilang gak bisa?" Suara tawa Nadhi terdengar sayup-sayup. Junio menggigit bibirnya. Berharap bisa mendengarnya langsung, bukan dengan medium gelombang telepon.

Sang Papa memberikan daftar tamu VIP padanya, bukan pada sekretarisnya. Pesannya tentu saja sejelas billboard di jalanan; hubungi mereka sambil mengenalkan diri jika dirinya akan menjadi calon pewaris perusahaan, tentu saja. Tunjukkan jika dia ingin mengenal mereka. Jika dia peduli pada siapa-siapa saja investor, rekanan, jajaran direksi, dan komisioner perusahaan sang Papa.

Yang mana tidak sama sekali.

Mengingatnya saja Junio ingin muntah.

"Jun," Nadhi membaca keheningan pacarnya itu dengan baik. "Seminggu lagi, tahanin aja."

Kepala Junio riuh menolak pernyataan itu karena nyatanya? Tidak. Tanggung jawabnya dengan keluarga bukan seminggu lagi. Koneksi yang akan dibangunnya di pesta ini akan berlangsung barangkali seumur hidup. Posisinya sebagai penerus perusahaan tidak bisa dinegosiasi.

Tapi Junio tidak sedang ingin mendebat Nadhi, dia sudah tahu kapan dirinya harus diam untuk tidak memperpanjang urusan. "Iya," sahutnya lesu. Dia yakin Nadhi juga berniat baik.

Obrolan mereka masih berputar selama beberapa menit ke depan. Berkisar antara Nadhi yang sedang pusing mengurus klien yang super rewel hingga perlu ditemui di Surabaya nanti dan Junio yang menceritakan saran atasannya untuk resign.

Hidup keduanya terasa jauh, walaupun berada di dalam hubungan yang begitu dekat.

Ketika telepon ditutup, Junio menyadari sesuatu. Semua ini sudah lagi tak semudah saat kuliah dulu.

Kosan Nadhi tidak lagi bisa ditempuh dengan jalan kaki. Kesulitan jadwal mereka sebatas akan pulang jam berapa hari itu. Dengan kebiasaan Nadhi yang lebih banyak berdiam di apartemennya juga memudahkan segala cerita untuk menjadi pengisi ruang di antara mereka. Kapan saja.

"Belum tidur, Jun?" sang Mama muncul dari belakang.

Junio menghabiskan tehnya dengan tenang. "Cuma mau ngeteh aja sebentar. Mama ngapain?" Dirinya bertanya balik ke perempuan berusia setengah abad yang ikut mencari gelas mirip dengan miliknya.

Serena masih sigap di dapur dan tak mau ada siapapun yang mencampuri dapurnya bahkan asisten rumah tangganya sendiri. Tangannya yang lentik dan biasa digunakan untuk melukis dalam kesehariannya bisa menjadi alat berkecepatan tinggi yang penuh presisi kalau sudah memasak. Sayang, bakat itu tak turun pada Junio sepenuhnya, seperti bakat melukisnya

batas; di antara - JaemRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang