Dua puluh satu; hadiah perpisahan

1.7K 236 94
                                    

It all began alone in one morningI hear the beat of someone making motionsInside of the space shared in our daysLay on, I seal my eyes, and pondering it allHow do we know what brought it downWhy can't I knowTrying to save it but I

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

It all began alone in one morning
I hear the beat of someone making motions
Inside of the space shared in our days
Lay on, I seal my eyes, and pondering it all

How do we know what brought it down
Why can't I know
Trying to save it but I... haven't

-----------------------------------------------------------------------

Keputusasaan terasa pekat di lidah Nadhi. Sekaligus melumpuhkan.

Nadhi memutuskan untuk keluar dari rumah sementara dan berada di kamar apartemennya yang kini gelap dan berantakan. Dia mengajukan cuti dadakan dua minggu tanpa alasan, yang entah mengapa bisa disetujui. Mungkin karena memang cutinya juga jarang diambil, jadi ada kelonggaran untuknya.

Tidak ada pesan maupun telepon masuk yang dia terima. Ponselnya teronggok tanpa nyawa, seperti dirinya sekarang. Nadhi berada di gulungan emosi yang sulit diidentifikasi, campuran antara marah, sakit hati, sedih, dan entah apa lagi yang membaur di kepalanya. Tapi sekaligus hampa.

Di hari-hari pertama dirinya berada dalam isolasi, kepalanya ribut dengan pikiran ke segala arah. Tapi sekarang isinya menguap pelan-pelan, seperti harapannya yang terkikis hari demi hari jika semua ini bukanlah kenyataan.

Nadhi tidak pernah merasakan sedepresi ini dalam hidupnya. Menurutnya, segala hal bisa dicoba dan dilalui, dan semuanya akan tetap baik-baik saja. Dirinya secara alamiah adalah seorang yang optimis. Tapi kepribadian itu meninggalkannya sekarang. Sama seperti Junio.

Junio...

Waktu bergulir lambat di kamar itu. Nadhi tidak tahu ini jam berapa. Sulit menerka-nerka dari sedikit cahaya matahari yang mengintip dari korden kamar yang tertutup. Dia bahkan lupa sudah berapa hari mengurung diri.

Nadhi kira, semua ini salahnya juga yang terlalu optimis. Dia selalu yakin bisa membawa hubungannya dengan Junio lebih jauh. Dia mengira mereka akan terus bersama. Bukannya memang begitu?

Nadhi tak pernah bisa mewujudkan gambaran–meski hanya dalam imajinasinya, jika dia bisa bersama orang lain selain Junio. Memikirkannya saja Nadhi mual. Semua dorongan tentang pernikahan dan membangun keluarga bahagia itu begitu jauh dari pandangannya. Begitu asing.

Rasanya itu hanya gambaran yang semua orang harapkan dari dirinya, kecuali justru harapannya pada diri sendiri.

Laki-laki itu begitu terlarut dalam isi kepalanya sampai baru menyadari jika pintu dibuka dan sosok jangkung Adji masuk ke pandangan. Keduanya saling menatap dalam diam, Adji mengangkat satu tangan serba salah untuk menyapa. Ketika dilihatnya Nadhi sama sekali tak bergerak, anak itu bergegas membuka sepatu dan menaruh barang yang dijinjingnya di meja dapur.

"Adji bawa batagor kuah kesukaan Aa, tadi mampir dulu. Abis ada tugas lapangan ngambil data ke kejaksaan, ya udah sekalian aja ke sini."

Nadhi hanya diam termangu.

batas; di antara - JaemRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang