Delapan; janji

2.9K 395 91
                                    


Suasana lebaran hingar bingar. Rumah siapa sih yang tidak? Di hari pertama?

Nadhi sudah lupa dia menyalami tangan siapa saja. Atau sudah berapa banyak anak kecil yang berkumpul di sekelilingnya mencari amplop THR yang selalu jadi bahan rebutan setiap tahun.

Adji mojok di kamar belakang rumah nenek mereka, khawatir kalau gilirannya akan tiba juga untuk bagi-bagi THR. Dia berdalih, usianya masih pantas mendapatkan amplop, setidaknya dari Nadhi. Anak itu tidak mau menerima jika usianya sudah seperempat abad tahun ini, dan dia bukan lagi yang terkecil di keluarga.

Kini, ada dua rombongan yang berkumpul. Satu di meja makan yang diisi oleh setidaknya enam menu lebaran yang berbeda dan selalu memikat indera penciuman setiap kali dilewati. Dan yang kedua, di kaki sang nenek yang terkekeh-kekeh menanggapi reaksi cucunya yang lain saat sedang bercerita.

Nenek Nadhi dan Adji dulu berprofesi sebagai guru. Pandai mendongeng ke anak-anak dan disukai bahkan anak tetangga sekitar. Sulit menemukan orang tua yang memiliki kemampuan literasi cukup baik di pedalaman Bandung seperti ini. Tapi sejak pensiun, nenek dan kakeknya memang sengaja memilih untuk kembali menjajaki hidup sederhana pedesaan.

Salah seorang sepupu kecilnya duduk di pangkuan Nadhi. Menyandarkan tubuh yang jauh lebih mungil ke perutnya. Nadhi tertawa, memaklumi tingkah itu dengan mengelus kepalanya.

"Kekenyangan? Ngantuk yah?" Tanyanya sambil mencubit pelan pipi si anak perempuan.

Namanya Dena, anak bungsu dari adik sang Bunda.

"Hmmhm," anak itu mengangguk pasrah.

"Semalem begadang?"

"Enggak... "

"Terus kok ngantuk?"

"Dibangunin subuh sama Ibuk."

Anak seusia Dena belum mengerti apa maksudnya harus bangun sepagi itu. Elusan Nadhi hanya memperparah kantuknya, yang akhirnya memang membuatnya tertidur pulas.

"Eleuh, Nadhi," seseorang di belakangnya berdecak. "Udah cocok banget."

"Teh Erna," Nadhi menyahuti wanita muda itu, ibunya Dena.

"Kapan atuh?"

"Kapan apa?" Nadhi berpura-pura tidak menangkap maksud dari pertanyaan itu. Lebih baik terlihat begitu ketimbang panik dan defensif.

"Punya anak sendiri."

Kan, Nadhi sudah yakin arahnya akan ke sini.

"Hmm, gak tau yah." Nadhi pura-pura berpikir. "Bikin anak kan enggak pake terigu sama gula, Teh."

Teh Erna merengut dijawab dengan nada bercanda seperti itu. "Kamu nih, cucu Enin paling tua lho. Tapi bertahun-tahun pacar aja gak pernah keliatan."

Nadhi memalsukan tawanya. Pacarnya ada kok, dan baik-baik saja di Jakarta.

"Ya gimana dong," kilah Nadhi halus. Bunda muncul dari belakang, meliriknya tanpa ikut menjawab apa-apa. Tetapi nampak memperhatikan percakapan itu dengan serius.

Nadhi paham, bundanya juga punya pertanyaan serupa.

"Nanti juga kalau udah ada bakalan tau. Gak mau buru-buru lah."

"Eleuh, bujang, nanti Bunda kamu keburu tua. Kamu gak pengen apa rumah lebih rame ada istri sama anak sendiri?"

Kenapa, ya, orang-orang gemar sekali membayangkan enaknya hidup orang dengan andai-andai yang bahkan bukan milik orangnya sendiri? Padahal, sebagai ibu beranak satu, tantenya tentu tahu kalau kehidupan pernikahan bukan semata-mata meramaikan rumah. Itu, sih, cukup memboyong Adji tinggal bersama mereka. Ramai. Adji susah diamnya.

batas; di antara - JaemRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang