Dua puluh empat; yang tidak berubah

1.3K 179 58
                                    


"Mas Nadhi, ampun deh, belakangan ini kok rapi banget. Potong rambut yah?" Mbak Lasmi dari Finance melipir ke mejanya penuh senyum.

Nadhi dengan kikuk mengiyakan. Tak sampai semenit, dia sudah dikerubungi oleh rekan kerjanya yang kebanyakan adalah perempuan, plus sudah menikah.

Mereka mengevaluasi dandanan Nadhi dari kepala hingga ujung kaki. Menyadari dia sudah meninggalkan sepatu lusuhnya dan mengenakan sepatu platform yang masih kinclong. Atau kini warna bajunya sudah bukan dominan hitam, tapi masih bernuansa segar dengan kombinasi warna serasi. Dia juga memilih mengecat rambutnya jadi hitam pekat, yang entah kenapa membaurkan kedewasaannya dengan kesan segar seperti anak muda di awal 20'an.

Tentu saja dia menjadi bahan cuci mata ideal di kantor. Nadhi tidak genit, dia juga cuma bisa mesem-mesem jika dipuji gerombolan ibu-ibu muda itu. Dan nasibnya, yang meski katanya sendiri agak konyol, tetap menjadi sumber iri para laki-laki.

"Mas, hey, jangan tebar pesona aja, kita mau jalan meeting kan abis makan siang?" Theo mengintip dari balik biliknya.

"Oke, mbak-mbak sekalian, saya mohon pamit." Nadhi mengumbar senyum cerah cerianya sambil membereskan laptop yang akan diboyong ikut meeting.

"Ah, Theo, suka ngerusak momen."

"Jarang-jarang, lho,"

"Nadhi begini sejak ngambil projek akuisisi itu yah? Yang PIC-nya penerus perusahaan sendiri?"

Tangan Nadhi spontan menggelenyar aneh, dan kilatan respon itu mencipratkan kopi yang sedang berada di genggamannya, langsung ke kemeja beige-nya. Serempak, wanita muda di sana ber-aah ria.

"Lho, lho, jangan buru-buru, Mas."

Kikuk, Nadhi mencari tisu di meja, yang kini disodorkan Mbak Rena dari HR.

Dia tertawa garing, "Waduh, harus dibersihin pake air nih kayaknya." Dia kemudian menembus gerombolan yang kini memajang wajah bersalah dan melipir ke kamar mandi.

-----------------------------------------------------------------------

"You're not sick, aren't you?" Langkah Junio tertahan ketika Nadhi hendak ruangan, dan suaranya cukup rendah untuk tidak ditangkap oleh Theo dan Selin yang sudah melenggang duluan di depan. Sibuk bercakap-cakap sendiri.

Dan Nadhi boleh berusaha sekerasnya mengendalikan diri menjadi sosoknya yang penuh profesionalitas selama meeting mingguan mereka, tapi dia bersumpah, debaran di jantungnya nyaris membuat dadanya pedih. Matanya menemukan mata Junio bahkan tanpa sinyal perintah otaknya, seolah gravitasi di kedua binar itu masih sama.

Gelengan Nadhi perlahan, tapi senyumnya tampak dipaksakan.

"Kemejaku ketumpahan kopi sebelum berangkat ke sini," dia menjelaskan, singkat dan padat, kenapa menghadiri meeting penting hanya berbekal kaus dan sweater lusuh yang sudah menipis dengan ujung-ujungnya terburai.

Mata Junio turun melihat noda agak kecokelatan di bagian dada, sedikit tersembul dari balik sweater dan memutuskan jika Nadhi berkata jujur. Nadhi memang selalu jujur padanya.

"Ah, okay." Junio tahu dia salah membuat asumsi. "Well– if you need it, perhaps, aku punya spare kemeja. Many sizes." Katanya ragu-ragu.

Dia kemudian melempar pandangan ke meja meeting mereka. Menemukan remote AC berada di depan posisi Junio duduk, dan menyadari sesuatu yang lain.

Nadhi menautkan alisnya. Jika dia tidak salah membaca, benarkah... lelaki di depannya ini mengkhawatirkannya?

batas; di antara - JaemRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang