Dua; keseimbangan

3.6K 550 83
                                    

Getting lost late at night, under starsFinding love standing right where we are, your lips

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Getting lost late at night, under stars
Finding love standing right where we are, your lips

They pull me in the moment
You and I alone and
People may be watching, I don't mind

'Cause anywhere with you feels right

-----------------------------------------------------------------------

"Cemberut aja deh, masih pagi juga."

"Nyetir aja yang bener, aku gak mau mati muda," sahut Junio tanpa menoleh ke sepupunya.

Chendra mengelus dadanya. "Kak, jangan gitu kek mukanya."

"Gitu gimana sih?"

"Ya gitu, galak. Jutek."

"Udah mode default."

"Resting bitch face tuh default?"

Junio mendelik ke arahnya.

"Iya, iya, terserah deh. Tapi cerita aja kek, kenapa? Jangan gue yang dijutekin gini." Chendra mencoba bernegosiasi. Sekeras kepala apapun kakak sepupunya, Junio bukan orang yang irasional.

Ini bukan meeting di hari Sabtu pertama mereka. Ini juga bukan jam terpagi untuk meeting bisnis. Tapi Junio tak pernah sesuntuk ini.

"Just tired," Junio berkata pendek. Dia memegangi sisi kepala kanannya yang didera migrain.

Sabtu itu mendung. Jejak-jejak basah minggu lalu yang dibalut hujan angin masih ada hingga kini. Lucu. Hujan masih sering turun di bulan Mei begini.

"Gak tidur semalem? Begadangin kerjaan kantor?"

Lemas, Junio menggeleng. "Enggak, you know Nadhi was there last night. Gimana mau begadang urusan kantor?"

"Ugh, the mother hen," Chendra bergidik. Imej Nadhi sejak lulus kuliah, terutama sejak betulan dekat dengannya karena memacari sang sepupu berbalik drastis di mata Chendra.

Nadhi bukan tipe yang sembarangan sekali sih, tapi bukan juga tipe yang detil dan sebegitu apik. Herannya, begitu urusannya tentang Junio, Nadhi jadi super perhatian. Apalagi sejak Junio masuk IGD karena telat makan dan stres dua bulan lalu. Protektifnya bisa kumat kapan saja.

Chendra punya keyakinan tersirat, kalau jika diizinkan, Nadhi mau-mau saja mengawal Junio ke segala tempat. 24/7. Tanpa dibayar.

"I know it's hard for you," gumam Chendra.

Dia menyadari bekerja di dua tempat sekaligus tidak mudah. Di posisinya sendiri, pekerjaannya sebagai pebisnis sudah menyita waktu habis-habisan. Apalagi karena dia didapuk untuk mewakili keluarga mengurus segala hal tentang usaha turun temurun yang ada. Itu pun, sesungguhnya Chendra punya satu kakak yang usianya terpaut cukup jauh dengannya dan kadang-kadang masih membantu. Walaupun Ian memang lebih suka menghilang di kerumunan pemain opera sebagai pemusik.

Bagaimana dengan Junio yang anak semata wayang?

Orang tua Junio sudah sangat terbuka karena membiarkan dirinya lepas dari tanggung jawab perusahaan sekian tahun lamanya. Semata-mata karena sang Papa masih sangat segar bugar dan sang Mama suka wara-wiri di arisan sosialita. Bisnis aman, Junio tenang.

Tetapi semenjak Papanya mendapat kartu kuning dari dokternya setahun lalu, sekeluarga mendukung Junio untuk segera turun dan terlibat aktif seperti Chendra.

"I truly hope Kak Ian was here, just to let you out and me saying the meeting is too crowded for you to join."

"Bukan tugasnya dia."

"Tau,"

"Emang udah waktunya juga." Junio mendesah pasrah. "But thanks, I appreciate the gesture."

Chendra mengangguk. Mobilnya berhenti di lobi hotel bintang lima kawasan Kuningan. Setelah menyerahkan kunci ke valet, mereka memasuki lobi megah yang tersusun dari banyak ornamen eksotis penghias ruangan.

Restoran di sana cenderung sepi. Suara langkah mereka berdengung hingga menggema di ruangan. Hanya ada beberapa meja terisi dan di salah satunya, Chendra bisa melihat sosok Papinya duduk dengan posisi santai tetapi mata yang begitu fokus ke dua orang di depannya. Suami istri, pebisnis lain dari Asia Timur.

Junio merapikan kemejanya yang sempat terjepit di mobil.

Meeting ini bakalan lama, pikirnya suntuk.

batas; di antara - JaemRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang