"Bah, sodaraku yang sedang galau, jangan duduk termenung sendiri disini nanti kesambet tau rasa."
"Satu-satunya setan yang sedang bergentayangan cuma ngana seorang."
"Mana ada setan secantik dan semenawan diriku."
"Itu buktinya ada sedang berdiri dihadapanku."
"Bangcat cekali ya ngana."
Shana mengabaikan Savira yang telah mengganggu kenyamanannya melamun di bangku taman belakang rumah, dia memilih masuk kedalam rumah dan berjalan kearah kamarnya lalu dia mengunci pintu agar Savira tidak mengganggunya lagi.
Satu minggu setelah kejadian di cafe, Shana memilih mengabaikan apapun tentang Miska, dia tidak mau mendengar ataupun menerima barang yang berhubungan dengan Miska.
Sering murung dan menyendiri itulah keseharian Shana sejak kejadian itu, banyak hal yang sudah Savira lakukan namun belum membuahkan hasil.
Dari cerita yang Shana dengar, pria bule yang bernama Hansen itu adalah tunangan Miska. Saat itu sebelum papa Miska meninggal beliau berpesan agar Miska bisa menikah dengan Hansen karena keluarga Miska banyak berhutang budi, tepat sehari setelah Miska bertunangan papa Miska meninggal dunia, awalnya Miska mulai menerima keadaan tapi Hansen mulai menunjukan sifat buruknya, pria itu terlalu posesif dan pencemburu, karena kedua sifat itulah Hansen menjadi pria yang kasar bahkan tidak jarang dia memukul Miska. Keluarga Isa yang mengetahui hal itu tidak terima lalu menemui keluarga Hansen untuk membatalkan pertunangan itu, keluarga Hansen menerima tapi tidak dengan Hansen, hingga akhirnya Miska memilih pulang ke Indonesia lalu terjadilah kejadian minggu lalu di cafe.
Shana sudah mengetahui kebenaran itu, tapi sebagian perasaannya menolak, apapun keadaannya Hansen masih berstatus tunangan dari Miska, karena Hansen tidak pernah membatalkan pertunangan itu sampai sekarang.
*****
Hari minggu di waktu sore hari, Shana memilih keluar dari kandangnya, dia mengajak Savira untuk belanja bulanan, karena stok makanan dan keperluan lainnya telah habis.
"Shan, mie instan rasa soto apa bakso?" tanya Savira saat mereka sedang berada di rak khusus mie instan.
"Bakso."
"Dua-duanya ajalah."
"Kalau gitu ngapain pake nanya, anjeng!" kesal Shana karena sudah kesekian kalinya Savira bertanya tentang pilih yang mana tapi berujung di pilih keduanya.
"Nah gitu dong toxic kan jadi asik."
Shana mengabaikan Savira, dia meninggalkan sahabatnya itu beserta troley yang berisi hampir penuh dengan belanjaan. Shana berjalan ke area makanan yang menyediakan makanan cepat saji didalam supermarket.
(Author dulu kalau belanja di giant Surabaya pasti beli)Shana memesan nasi goreng seafood sambil menunggu dia duduk disalah satu kursi sambil memainkan ponselnya.
"Hai."
Seseorang menyapa Shana dan langsung duduk kursi sampingnya yang kosong, Shana melirik sekilas saat tahu jika orang tersebut adalah Hera dia segera mengemasi barangnya dan akan pergi meninggalkan tempat itu, tapi Hera berhasil menahannya.
"Mau kemana?"
"Bukan urusanmu."
"Hm, bagaimana rasanya patah hati, tidak enak ya, utututu, Shanaku sedang galau."
Shana tidak perduli dia tetap melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, namun baru beberapa langkah dia di tahan oleh Savira.
"Sekeras apapun usahamu, Shana tidak akan pernah kembali padamu, lakukanlah sesukamu, puas-puaskan usahamu itu, Shana tidak perduli," ucap Savira dingin lalu mengajak Shana untuk pergi dari tempat itu.
