Chapter 1 : Lead to Top Secret

2.3K 313 12
                                    

Aku tidak terlalu memerhatikan langkahku ketika menaiki tangga. Akibatnya, aku nyaris terjatuh. Beruntung, Novi dengan sigap memegangiku.

"Kamu lagi kenapa deh, Mi? Ngelamun mulu!" tanyanya dengan nada gemas. Sepanjang hari ini, entah sudah berapa kali Novi menegurku karena keteledoranku.

Fika yang berjalan di sebelah Novi pun ikut berkomentar. "Dari tadi pagi lho Mi, maneh nggak fokus. Lagi mikirin kerjaan atau cicilan apartemen, Mi?"

"Mikirin pacar kali."

"Memang punya pacar?" ejek Fika.

Malas menanggapi, aku hanya terkekeh singkat saja.

"Eh, ngomongin apartemen, urang papasan sama Mas Separuh Bule kemarin sore, di apartemen—" celetuk Fika nggak lama setelah kami masuk ke ruang kelas.

Biasanya, aku akan menyimak obrolan tentang objek yang dibicarakan Fika, tapi tidak dengan kali ini. Aku benar-benar kehilangan selera terhadap segala hal sampai sulit untuk fokus dengan apa yang sedang kulakukan. Kalau saja hari ini tidak ada kelas financial management, mungkin aku memilih absen kuliah.

Aksi Mas Radi kemarin malam berhasil membuatku linglung. Aku nyaris melamun seharian ini, sampai banyak hal yang tidak kukerjakan dengan benar. Selain memasukkan garam ke dalam kopiku, aku juga dengan konyolnya bergabung dengan taksi online pesanan orang lain—karena mengira aku sudah pesan taksi, padahal belum.

"Yah, ngelamun lagi ini anak!" tegur Fika sambil mengoper buku yang dia pinjam dariku minggu lalu. "Bibir maneh kenapa sih, Mi? Di toal-toel terus."

"Gatel," balasku sambil lalu. Padahal, setiap kepalaku memutar ingatan tentang Mas Radi, jemariku reflek mengusap bibir.

"Ngelamun mulu, Mi. Kalau ada masalah, cerita sama kita-kita. Biar lega, jadi kamu nggak kepikiran terus!"

Kurasa, Novi benar. Aku harus menumpahkan isi kepalaku supaya nggak terus-terusan kepikiran sama Mas Radi. Masalahnya, pada siapa aku harus bercerita?

Aku sadar banget, cerita cintaku dengan Mas Radi bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan bahan obrolan santai. Jangankan curhat pada sahabat kantor, aku bahkan nggak berani cerita ke Ibrahim Juanda, sahabatku sejak masih berseragam putih-merah. Ibra, begitu aku memanggilnya, tidak tahu-menahu bahwa aku punya pacar rahasia meski hubungan yang kujalani sudah menginjak hitungan belasan bulan.

Mana berani aku cerita pada Ibra. Hubungannya dengan sang pacar sering berakhir karena adanya orang ketiga. Aku yakin, Ibra akan membenciku setengah mati kalau dia tahu aku menjalani hubungan dengan laki-laki beristri.

Kuliah yang diampu oleh Prof Nita berakhir tepat pukul sepuluh malam. Novi bergegas membereskan mejanya dan meninggalkan kelas karena dia sudah dijemput oleh suaminya. Sementar Fika, dia masih bersamaku karena jemputannya belum datang.

"Dari pagi hujannya awet, ya," Fika mengomentari cuaca kota Bandung hari ini. "Besok maneh nggak ada kegiatan, kan? Mau ikut urang nggak, Mi? Ke Shoulder."

Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. Hanya karena aku lama tinggal di Jakarta dengan segala kehedonannya, banyak dari temanku mengira aku terbiasa dengan kehidupan malam, termasuk Fika. Meski aku pernah bilang bahwa kelab malam dan bar bukan tongkronganku, tapi hampir semua nggak percaya. Mungkin karena gayaku kelihatan gaul banget kali, ya?

"Nggak dulu. Gue lagi pengin cepet pulang. Lo sendirian?"

"Sama pacar urang lah. Ikut aja, yuk? Biar nggak suntuk, Mi. Nanti urang kenalin deh sama temennya Mas Pacar. Kali aja masuk kriteria maneh."

Meet, Prodigious Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang