Chapter 3.1: No More Hasitate

1.1K 240 2
                                    

Raditya P. S. : Mi, kamu masih belum mau maafin aku?

Aku membaca pesan Mas Radi berulang kali, tapi tidak lantas membalasnya. Bukan hal yang mudah buatku untuk mengabaikan lelaki itu, karena aku terbiasa dengan perhatian yang selama ini diberikan oleh Mas Radi. Jauh dalam lubuk hatiku, ada kerinduan untuk berbalas chat dan mendengar suara Mas Radi.

Terkadang, aku merasa kosong. Hampa. Benakku dipenuhi oleh keinginan untuk kembali pada Mas Radi. Namun, akal sehatku memberontak.

Beruntung, semesta mendukungku kali ini. Kesibukan Mas Radi—setelah dia berhasil memenangkan tender—semakin memuluskan niatku untuk menghindarinya. Setiap Jumat hingga Selasa, bisa dipastikan Mas Radi absen dari kantor dan mengurus pekerjaan di Jakarta. Dengan begitu, intensitas pertemuan kami semakin berkurang.

"Mi! Mi!" panggil Ibra yang terdengar kesal.

"E-eh? Ya?"

"Diajak ngobrol malah diem aja. Kenapa? Kepikiran Mas Radi lagi?"

"Sedikit," gumamku. Sebelum Ibra mengomel dan mencecar, aku buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Tadi Mas Yudha kenapa?"

Ibra menghidangkan nasi goreng ayam buatannya ke piringku sambil mendengus kesal. "Mas Yudha minta kita datang jam sepuluh, jadi habis sarapan, lo jangan tidur lagi! Langsung mandi!"

"Duh, gue masih ngantuk banget. Lo tahu sendiri, gue baru tidur jam dua pagi."

"Terus gimana? Mau diundur sampai minggu depan? Yang punya apartemen bisanya ketemuan jam sepuluh, dia berangkat ke Semarang habis zuhur."

Aku menimbang selama hitungan menit yang singkat. "Oke, deh. Semoga aja, negosiasinya cepat."

Tiga hari lalu, Ibra mengabariku kalau asisten ayahnya, Mas Yudha, punya kakak yang tinggal di apartemen Tera Residence. Kakak Mas Yudha itu berniat menyewakan unitnya. Kebetulan, apartemennya disewakan sesuai sama kriteria yang aku mau. Ibra pun langsung meminta Mas Yudha menghubungkan kami dengan sang kakak. Kami tidak membuang waktu dan segera mengatur jadwal untuk meninjau apartemen, sekalian negosiasi harga sewa.

Sebenarnya, aku tidak benar-benar berniat melakukan negosiasi. Berapa pun nominal biaya sewa tahunannya—sekalipun itu artinya aku harus menarik sebagian deposito, aku akan menyanggupi. Tekadku sudah bulat, aku ingin memulai kembali hidup tanpa melibatkan Mas Radi.

Saking kuatnya tekadku, aku sampai rajin menginap di rumah Ibra. Di apartemenku, terlalu banyak kenangan manis antara aku dan Mas Radi. Aku takut, kenangan itu membangkitkan keinginanku untuk membalas chat dan telepon dari Mas Radi, karena sebelumnya, setiap aku merasa kesepian, aku pasti menghubungi dia.

Aku sudah siap berangkat menuju apartemen Tera Residence saat ponselku berdering berkali-kali. Telepon dari Mas Radi.

"Kayaknya mending lo angkat aja deh, Mi. Lo tolak dia baik-baik, biar nggak ngeganggu terus," saran Ibra seraya mengajakku kembali duduk di sofa.

Berat hati, aku menerima panggilan dari Mas Radi. Mendengar dia mengucapkan 'halo' saja bikin dadaku sesak. Ya Tuhan... Aku merindukan suaranya.

"Ya, Mas?"

"Mi, aku ada di depan apartemen kamu. Please, bukain pintunya."

Aku terbelalak. "Kamu bukannya masih di Jakarta?"

"Ini aku baru aja sampai di Bandung. Kayaknya nggak akan lama sih, habis ngobrol sama kamu, aku langsung balik ke Jakarta lagi," jelas Mas Radi. "Kamu baru bangun?"

"Uhm... enggak. Maaf ya, Mas, tapi aku... nggak lagi di apartemen," jawabku canggung. Terus terang aja, aku nggak tega menolak permintaan Mas Radi untuk bertemu. Gimana mau tega? Di tengah kesibukannya yang superpadat, Mas Radi masih menyempatkan diri menemuiku. Menempuh jarak seratusan kilometer pula.

"Terus kamu di mana? Kampus? Aku samperin, ya? Atau kita ketemu di kafe biasa?"

"Mas, aku nggak mau ketemu kamu."

"Ayolah, Mi! Cukup di kantor kamu cuekin aku. Lagian, Sampai kapan kamu mau menghindari aku kayak gini?!" tanya Mas Radi dengan nada kesal. Bisa kupastikan, dia sedang frustrasi mengacak rambutnya. "Aku minta maaf soal ciuman itu, oke? Please. Sekarang kita ketemu. Kita selesaiin masalah ini baik-baik."

"Mas, masalah kita sudah selesai. Malam itu aku sudah minta putus, kan?"

"Putus bukan cara buat menyelesaikan masalah kita, Amiya," tegas Mas Radi. "Kita ketemu di kafe. Oke? Ya?"

"Maafin aku, Mas."

Tanpa menunggu jawaban Mas Radi, aku memutuskan panggilan telepon kami. Di sebelahku, Ibra menghela napas panjang. Karena kami duduk bersebelahan, aku yakin Ibra bisa sedikit menguping pembicaraanku dan Mas Radi barusan.

"Gue jadi... merasa bersalah. Mas Radi nyempetin nengok gue dari Jakarta, tapi gue malah nolak dia," gumamku.

"Lho? Aneh banget. Bukan salah lo lah kalau akhirnya Mas Radi harus balik lagi ke Jakarta. Kan elo nggak minta ditemui sama dia."

"Iya, sih."

"Lo nggak minta dia berkorban buat lo, jadi berhenti deh merasa bersalah segala. Nyalahin diri lo sendiri tuh cuma bakal bikin capek hati aja."

Tak ingin berkutat dengan pikiran soal Mas Radi, aku pun memutuskan untuk bangkit dari dudukku. "Yuk, berangkat sekarang."

Senyum Ibra menyembul melihat semangatku. "Nah, gitu dong! Semangat move on! Ini baru Amiya yang gue kenal!"

Meet, Prodigious Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang