Chapter 7.1: Double Trouble

1.9K 409 18
                                    

Dua hari belakangan ini, aku tidak berangkat ke kantor alih-alih izin menggunakan alasan sakit. Eldian memberi approval tanpa banyak tanya, mungkin karena saat terakhir ngantor—sepulang dari makan siang bersama Emilia, dia melihat kondisiku yang tidak bugar. Waktu itu, aku memang kembali ke kantor dengan wajah lesu dan sembab. Mirip orang sakit typhus kata Mbak Maira.

Selama absen, aku menggunakan waktuku untuk tetap mencicil pekerjaan. Sayangnya, hati dan pikiranku nggak selalu kondusif. Di tengah menyelesaikan laporan, ingatan tentang Mas Radi terlintas di kepala dan bikin aku menangis tiba-tiba.

Aku pun berkeluh-kesah ke Ibra dan dia menyarankanku agar meminta Tristan menginap di Bandung. Ceritanya sih, biar Tristan menemaniku, jadi aku nggak kepikiran Mas Radi terus. Kupikir ide Ibra lumayan bagus, makanya semalam, aku langsung mengeksekusi sarannya.

Tristan G. : Gue langsung naik atau gimana?

Amiya C. : Tunggu di lobi aja, ntar gue samper. Gue lagi beli kopi buat lo btw

Tristan G. : Oke deh sistuuur!

Tristan G. : Es americano dingin ya

Amiya C. : Es mah pasti dingin, kocak!

Aku memasukkan ponselku ke dalam saku sweater dan bergabung ke antrean yang diisi para pecandu kopi. Ini kali pertama aku mencoba kopi di Yardie Café yang ada di lantai dasar gedung apartemenku. Dilihat dari antrean panjang sepagi ini, kurasa kualitas kopi yang ditawarkan kafe ini cukup memuaskan.

Banyaknya orang yang mengantre membuatku menghela napas panjang. Bentar... ada aroma yang nggak asing, nih. Detik berikutnya, aku menoleh ke belakang. Benar saja, ada Adian yang sedang ikut mengantre. Aku tahu sebab harum woody dan musky khas lelaki itu tercium sejak tadi.

Melihat aku berada di depannya, Adian cuek saja. Yah, dia nggak harus kaget, sih. Kami kan tinggal satu gedung, satu lantai pula. Nggak aneh dia ketemu sama aku lagi, aku lagi.

"Pagi," sapaku. "Tumben ngopi di sini?"

"Kopinya enak."

Aku manggut-manggut. Kalau Adian bilang begitu, aku yakin kopinya beneran enak. "Tumben berangkat ke kantornya pagi banget?"

"Nggak tumben. Kamunya aja yang jarang lihat saya berangkat pagi."

"Iya, sih." Aku menyengir. Dalam hitungan detik yang singkat, aku kembali mengajukan pertanyaan. "Bapak nggak nanya kenapa saya masih pakai celana tidur?"

"Enggak."

"Tanya dong."

"Buat apa?"

"Basa-basi aja. Biar pertemanannya berasa dikit gitu, lho."

Adian menggeleng kecil melihat tingkahku. "Jadi, kamu nggak ngantor lagi?"

Dahiku berkerut halus. "Lagi?" ulangku yang kemudian menoleh pada Adian. "Tahu dari mana kemarin saya nggak ngantor?"

"Majuan, gih," katanya. Aku menurut agar antrean kami semakin pendek. Sekarang, aku dan Adian semakin dekat menuju kasir.

Atensiku sempat teralihkan, tapi nggak lama, aku kembali bertanya-tanya. Mungkinkah Eldian ngasih tahu Adian kalau aku nggak masuk kantor? Mereka sudah baikan?

Kedua kalinya, aku menoleh ke Adian, lelaki itu malah sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Aku jadi nggak berani lagi membuka percakapan.

"Atas nama siapa?" kasir mengajukan pertanyaan saat giliranku tiba.

"Amiya. Saya pesan iced americano satu ya, Mas. Sama... muffin kejunya dua," pesanku. Saat kasir sedang menginput pesanan, Adian maju dan berdiri di sebelahku. Dia menahan tanganku yang merogoh saku sweater untuk mengambil ponsel dan membayar melalui dompet virtual.

Meet, Prodigious Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang