Tidak seperti biasanya, Mas Radi berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Pantas saja pas bangun tidur tadi perasaanku nggak enak, ternyata semesta memberi kode bahwa aku akan dihadapkan dengan masalah sepagi ini.
"Morning," sapaku ketika berjalan melewati kubikel lelaki itu. Kuharap, Mas Radi akan mengabaikanku, tapi tentu saja itu mustahil. Aku tahu apa motivasinya berangkat sepagi ini.
Alih-alih menjawab sapaanku, Mas Radi malah bangkit dari kursinya dan mengekor padaku. "Mi, kalau kamu nggak mau ketemu aku di luar kantor, terpaksa kita harus bicara di sini."
"Nggak usah macam-macam. Di ruangan ini ada CCTV, just in case kamu lupa."
"Kalau gitu aku mau kamu tentuin, di mana kita bisa ngobrol berdua aja."
Aku menghentikan langkah tepat di mulut kubikelku. Sejurus kemudian, aku mengumpulkan nyali untuk berbalik badan, berharap bisa menghadapi Mas Radi dengan penuh percaya diri. "Aku nggak pernah punya niat buat ketemu sama kamu di luar kantor. Lagian, sudah nggak ada hal yang perlu kita omongin, Mas."
"Putus itu bukan solusi," katanya. Aku menangkap ada nada kesal di sana. "Kita bisa cari jalan keluar yang lebih baik."
"Jalan apa? Dari awal, nggak ada jalan buat kita."
"Amiya, bisa nggak kamu tuh mikirnya simple aja? Nggak usah memperumit masalah kita kayak sekarang."
"Justru bakal lebih rumit kalau kita nggak berhenti sampai di sini, Mas."
"Semua ini nggak akan rumit kalau kamu terus-terusan minta putus."
"Terbalik dong, Mas. Justru kalau aku nggak minta putus dari sekarang, hubungan ini makin nggak jelas."
"Nggak jelas gimana sih?"
"Kamu nggak lupa kan, kalau kita tuh cuma maksain keadaan demi memenuhi ego?"
"Terus kenapa? Kamu anggap ego kita as a problem? Kita nggak pernah punya masalah selama ini, karena kamu dan aku sama-sama tahu soal itu sejak memulai hubungan."
"Setelah aku pikir lagi, terus-terusan mementingkan ego kita sendiri, cuma bikin kita melukai satu sama lain. Jadi aku milih berhenti sampai di sini," tegasku dan Mas Radi pun bungkam. "Aku juga capek ngebohongin semua orang, capek dibayangi sama rasa bersalah ke istri kamu."
"Harus berapa kali sih aku ngingetin kamu—kamu nggak pernah salah?" Mas Radi memberi jeda sejenak untuk menyugar rambutnya. Kuperhatikan, wajahnya yang semula segar kini mendadak kusut. "Satu-satunya orang yang harusnya merasa bersalah itu Emilia. Dia yang ngotot ngelanjutin perjodohan kami walaupun tahu cintaku cuma buat perempuan lain. Buat kamu!"
"Nggak penting siapa yang kamu cintai. Kamu sudah jadi milik Emilia dan aku nggak punya hak buat mencintai dan dicintai sama kamu." Gawat. Suaraku mulai serak.
Beri aku kekuatan, Ya Tuhan. Aku tidak ingin menangis di depan Mas Radi. Aku takut dia tahu kalau aku masih mencintainya dengan amat sangat. Menunjukkan perasaanku hanya akan membuat Mas Radi sulit melepasku, dan itu akan membuat Mas Radi semakin gigih mempertahankan aku.
"Mi, kita ngejalanin hubungan ini bukan seminggu-dua minggu. Tolong lah kamu pikirin lagi keputusan kamu itu." Mas Radi berusaha meraih tanganku dan menggenggamnya. Tentu saja aku menolak.
"Yang mau kita pertahanin tuh apa sih, Mas? Kamu sadar nggak, kalau sebenarnya, kita nggak pernah memperjuangkan apa-apa? Hubungan kita sebatas selingkuhan aja. Nggak akan pernah bisa lebih."
Binar mata Mas Radi berubah sendu. Melihat itu, hatiku terasa diremas kuat hingga rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuhku.
Mata lelaki itu jelas mengatakan bahwa dia tidak suka mendengar apa yang baru saja kukatakan. Namun, Mas Radi juga nggak bisa menyangkal bahwa semua itu ada benarnya, kan?
Mas Radi mungkin mencintaiku, tapi apa yang bisa dia lakukan untukku kemudian hari? Nggak ada. Dia harus kembali pada Emilia, tak peduli sebesar apa rasa cintanya terhadapku.
"Apa itu artinya, kamu mau aku cerai sama Emilia dan menikahi kamu?"
"Astaga!" timpalku cepat. "Bukan itu maksud aku! Aku sama sekali nggak berharap kamu cerai sama Emilia, Mas. Aku cuma... pengin hubungan kita selesai di sini!"
"Kalau aku nggak mau nyelesaiin hubungan ini, kamu mau apa?"
"Sampai kapan sih kamu mau bertahan sama aku?"
"Selamanya, Mi! Soalnya aku cuma mau kamu, that's it!" tegas Mas Radi dengan suara meninggi.
Aku menatapnya tak percaya. Ini kali pertama Mas Radi membentakku. Aku tahu dia terbawa emosi, tapi biasanya nggak sampai membentak seperti ini.
Selama hitungan menit yang singkat, kami berdua tak bicara. Mas Radi hanya terdiam dengan segudang penyesalan yang tergambar jelas di wajahnya.
Aku nggak bisa menebak apa yang ada di kepala Mas Radi, tapi semoga saja, dia tidak memikirkan kemungkinan soal perceraian. Aku sendiri berkutat dengan kecemasan membayangkan Mas Radi berpisah dengan istrinya karena aku. Sungguh, secinta apa pun aku pada lelaki itu, aku nggak pengin menghancurkan rumah tangganya dan menyakiti Emilia.
Lalu apa yang kuinginkan saat dengan terbuka, aku menerima perasaan Mas Radi? Entahlah. Bagiku, bersama Mas Radi saja sudah cukup. Aku nggak membutuhkan status yang lebih resmi. Aku nggak tahu apakah cintaku terlalu tulus atau bodoh, yang jelas, aku nggak pernah berharap Mas Radi akan menyakiti Emilia dengan menceraikannya.
Seiring berjalannya waktu, aku sadar bahwa aku tetap saja menyakiti Emilia, sekalipun wanita itu nggak tahu soal perselingkuhan suaminya. Bohong kalau aku bilang aku nggak pernah merasa bahagia saat bersama Mas Radi. Tentu saja kebahagiaan itu ada, tapi nggak seberapa dibanding rasa bersalahku pada Emilia.
Perasaan itu tidak pernah berhenti menggerayangiku setiap kali Mas Radi tidak berada di sampingku, dan aku benar-benar lelah menghadapinya.
"Kamu sayang aku kan, Mi?" tanya Mas Radi.
Ingin aku berkata 'tidak' dengan suara lantang, masalahnya, lidahku terlalu kelu untuk mengatakannya. Aku juga nggak yakin bisa menutupi perasaanku dari Mas Radi. Bibir mungkin bisa berbohong, tapi mata hampir tidak bisa menutupi isi hati yang sebenarnya. Jadi, menjawab dengan dusta pun akan menjadi hal yang sia-sia.
"Aku juga sayang sama kamu," ujar Mas Radi yang sepertinya memang tidak membutuhkan jawabanku. "Dan maksain diri buat mengakhiri hubungan ini, cuma bikin kamu nyakitin diri sendiri, Mi."
"Kabar baiknya, kamu nggak perlu peduli sama hal itu, Mas. Perasaanku sama sekali bukan urusan kamu, karena kamu nggak pernah punya tanggung jawab atas apa yang aku rasain."
"Asal kamu tahu, seandainya bisa, aku juga nggak mau peduli sama kamu, tapi impossible, Mi. Senyata itu perasaanku buat kamu!"
"Kalau gitu, mulai sekarang, lebih baik Mas belajar mencoba tutup mata soal aku." Aku mengingatkan dengan hati remuk redam. "Lagian, cepat atau lambat, keadaan bakal maksa kita buat berhenti peduli dan jatuh cinta satu sama lain."
Rahang Mas Radi mengeras. Lelaki itu memijat glabelanya. Kuperhatikan, wajahnya perlahan memerah.
Mas Radi... menahan tangis? Atau marah?
"Mas—"
"Sudah lah, Mi. Jangan dilanjutin," potong Mas Radi dengan kilat. Lelaki itu menarik napas panjang. "Satu lagi, jangan ungkit obrolan kita hari ini. This conversation never happened, okay?"
Tanpa menunggu sahutanku, Mas Radi melangkah pergi. Lelaki itu tidak kembali ke kubikelnya. Rasa kecewanya pasti sangat besar sehingga Mas Radi enggan berada di ruangan ini. Dengan tergesa, dia meninggalkan ruang kerja kami.
Aku sendiri terpaku di tempat, masih sibuk mengolah emosi yang sangat menguras hati.
&&&
Selamat hari Senin!
BTW, author update di lapak ini, kenapa yang rame malah lapak sebelah deh? ;p
XOXO,
Rachel
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet, Prodigious Partner!
ChickLitAmiya Chairani (24) harus segera move on! Hubungan gelapnya dengan Raditya Putera (28) harus segera berakhir. Ketika Amiya dihadapkan dengan hubungannya yang rumit bersama Radi, Amiya tanpa sengaja melibatkan sosok Adian Dirgatama (34), teman di ke...