Chapter 8.1: Too Late?

3.5K 408 38
                                    

Aku dan Bang Agam mampir ke restoran khas Sunda sepulang dari kantor klien. Karena pekerjaan kami nggak terlalu padat, jadi aku dan Bang Agam nggak terburu-buru kembali ke Maxima. Makanya, obrolan makan siang kami kali ini bisa lebih santai dan panjang.

Mulanya, topik yang kami bahas adalah seputar klien, tapi lama-lama merambat ke persoalan di kantor, termasuk Mas Radi.

"Kaget kali aku pas dia mampir ke rumah tanpa berkabar," ujar Bang Agam. "Coba kau tebak, Mi, mau apa Radi ke rumahku?"

Keningku berkerut halus, mencoba mengira-ngira maksud kedatangan Mas Radi ke rumah Bang Agam seminggu lalu—usai menyambangi apartemenku. "Curhat?"

"Betul. Dan kau tahu dia curhat soal apa?"

"Apa?"

"Perceraian."

Tubuhku menegang seketika. Detik berikutnya, selera makanku menguap begitu saja. "Dia... punya rencana buat cerai?"

"Ini, aku bagi cerita sama kau aja ya, Mi. Aku percaya kau bisa jaga rahasia, tak seperti Maira dan Imelda," bisik Bang Agam. "Ternyata benar, Radi itu dijodohkan sama orangtuanya dan dia sama sekali nggak cinta sama Emilia."

Jantungku berdegup lebih kencang sekarang. Kalau Mas Radi sudah begitu terbuka pada Bang Agam, itu artinya, dia benar-benar punya niat untuk bercerai.

"Radi bilang, banyak ketidakcocokan antara dia sama Emi," tambah Bang Agam usai menghela napas panjang. Dia lalu meraih jus jeruknya, meminum hingga tandas, baru melanjutkan cerita. Kurang-lebihnya, apa yang Mas Radi ceritakan pada Bang Agam sama seperti yang pernah lelaki itu utarakan padaku. "Pernikahannya sama Emilia nyaris seperti cangkang saja. Tak ada artinya, itu yang Radi bilang. Kehidupan dalam rumah tangga mereka hampa, katanya sih, gara-gara tak saling cinta."

Asumsi Mas Radi jelas salah besar. Emilia mencintainya, hanya saja, Mas Radi tak menyadari persaaan Emilia. Atau mungkin sengaja mengabaikan perasaan sang istrikarena kehadiranku. "Lo... tanya, nggak soal gosip Mas Radi selingkuh?"

Bang Agam menggeleng tegas. "Radi bukan orang seperti itu. Aku kenal dia jauh lebih lama dari kau dan teman-teman yang lain, jadi aku tahu Radi nggak mungkin selingkuh."

"Terus apa tanggapan lo soal niat Mas Radi—menceraikan istrinya?"

"Tuhan membenci yang namanya perceraian, Mi. Ada kondisi yang memperbolehkan sepasang suami-istri buat bercerai, misalnya terjadi KDRT. Kalau alasannya cuma nggak merasa ada kecocokan, kusarankan dia mencari bantuan profesional. Konselor pernikahan misalnya," tutur Bang Agam. "Radi bilang, dia nggak pernah bertengkar sama Emilia. Dua tahun ini, rumah tangganya berjalan baik-baik aja, walaupun sebenarnya Radi nggak merasa bahagia sama pernikahannya. Kupikir, kalau dua tahun ini mereka sanggup bertahan tanpa banyak cek-cok, berarti pernikahan mereka punya potensi buat diselamatkan. Nah, Mi, andai kau ada di posisi Emilia, gimana perasaan kau saat suami minta cerai karena alasan nggak cocok?"

Pertanyaan itu sungguh menohokku. Ironi sekali, membayangkan diri ada di posisi Emilia sementara aku adalah masalah utama dalam rumah tangganya. "Uhm, yah... gue pasti kecewa dan sedih, sih. Gimana pun, nggak ada orang waras di dunia ini yang mau menikah cuma untuk bercerai, kan?"

"Persis. Itu pula yang kupikirkan pas ngasih saran buat Radi. Dan lagi, menurutku, kalau sudah menikah, nggak pantas lah kita bicara cocok atau enggak. Justru seninya sebuah pernikahan itu, di bagian menerima ketidakcocokan dan kekurangan pasangan. Urusan cinta, masih bisa diusahakan kehadirannya, selama ada niat dari kedua belah pihak."

"Abang nanya nggak ke Mas Radi, apa dia pernah berusaha mencintai istrinya?"

"Kutanya lah. Radi jawab kalau dia sudah berusaha, tapi cinta itu nggak pernah ada. Padahal, kalau kutengok-tengok, rasanya nggak susah buat jatuh cinta sama Emilia. Perempuan secantik Emilia terlalu sulit buat dilewatkan, kan? Makanya, heran juga aku sama Radi."

Sekarang, aku merasa menjadi perempuan paling jahat di dunia. Aku menghalangi Emilia mereguk kebahagiaan dalam rumah tangganya. Dua tahun dia bertahan, berusaha legawa menerima kekurangan Mas Radi yang belum bisa mencintainya, tapi cinta yang diharapkannya tak kunjung bertunas.

"Pernikahanku sudah berjalan tiga belas tahun, tapi tak sekali pun aku berpikir menceraikan istriku. Padahal, aku dan Mitha banyak nggak cocoknya. Pernikahan kami pun nggak selalu adem ayem. Satu lagi, takdirku sama Mitha nggak jauh berbeda sama Radi dan istrinya. Kami menikah atas dorongan orangtua. Nggak dijodohkan, tapi yah, ada sedikit paksaan gitu lah."

"Masa, sih? Kalian kelihatan klop banget lho, kayak pasangan yang kenal dari lahir."

"Dari luar begitu, tapi aslinya sih, ada lah ketidakcocokannya." Bang Agam tertawa singkat. "Menurut pengalamanku, cinta datang karena terbiasa, itu sudah rumus umum, Mi. Bangun tidur yang kulihat siapa? Mitha. Mau tidur yang kulihat siapa? Mitha juga. Sulit buat nggak jatuh cinta kalau terbiasa bersama."

Aku manggut-manggut, dalam hati membenarkan ucapan Bang Agam. Aku sendiri mengalaminya. "Bang, sebelum nikah sama Uni Mitha, ada nggak perempuan yang lo sukai gitu?"

"Ada, dong."

"Terus lo nggak kepikiran sama perempuan itu?"

"Enggak lah. Buat apa juga kupikirin, Mi. Manusia ditakdirkan berpasang-pasangan dan aku sudah bertemu jodohku. Perempuan itu juga pasti sudah punya jodoh terbaiknya. Setelah menikah, tugasku bukan lagi mencintai dia, tapi mencintai Mitha," jawab Bang Agam mantap. "Harga diri laki-laki itu ada pada usahanya dalam bertanggung jawab, itu yang ayahku bilang. Makanya, aku berusaha menjaga bertanggung jawab atas Mitha dan perasaannya dengan cara melupakan perempuan yang waktu itu kucintai."

Terukir senyum miris di wajahku. Ah, bodoh sekali ya aku dan Mas Radi? Kami mau diperdaya hasrat dengan label cinta, sampai lupa pada tanggung jawab masing-masing. Dalam hal ini, kurasa bukan cuma Mas Radi yang berengsek. Aku pun nggak kalah berengseknya. Andai bisa kuputar ulang waktu, ingin aku lari sejauh-jauhnya dari Mas Radi, supaya kami nggak terjebak dalam kebodohan ini.

"Aku percaya, aku dan Mitha bisa menjalani pernikahan dengan bahagia," lanjut Bang Agam. "Benar aja, cinta itu hadir. Dikaruniai tiga anak dalam waktu empat tahun cukup membuktikan sebesar apa cintaku ke Mitha."

"Uni Mitha beruntung banget dong ya dapetin suami kayak lo, Bang."

"Jelas dong, Mi. Di mana lagi bisa nemuin suami sebaik dan seganteng aku, kan?" candanya disusul kekehan singkat. "Mumpung kau belum menikah, Mi, kau harus ingat kalau di dunia ini, kita nggak mungkin ketemu sama orang yang seratus persen cocok sama kriteria kita. Kecil kemungkinannya buat kita menikahi seseorang yang segala macamnya cocok sama harapan kita. Makanya, cari lah pasangan yang kekurangannya bisa kita terima, jadi nggak sulit buat jatuh cinta berkali-kali ke orang yang sama."

Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Dalam hati, kusimpan baik-baik nasihat Bang Agam tadi.

Selesai makan siang, aku dan Bang Agam bertolak ke kantor. Sepanjang perjalanan kembali ke Maxima, pikiranku nggak lepas dari Mas Radi dan keinginannya untuk menceraikan Emilia. Apa yang harus aku lakukan supaya pernikahan mereka nggak berujung pada perpisahan?

Menjadi orang ketiga saja sudah cukup membuatku dihantui rasa bersalah yang teramat besar. Aku nggak sanggup membayangkan seandainya mereka benar-benar bercerai karena aku.


TBC

Kangen banget sama Wattpad dan tulis-menulis setelah sekian lama ya Tuhaaan. Siap ketemu Adian lagi? Cus, pantengin lapaknya!

XOXO, 

Rachel

Meet, Prodigious Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang