Chapter 4.1: It's About Time

1.2K 252 4
                                    

Aku sedang menunggu rekan-rekan kerjaku di ruang meeting saat ponselku berdering. Panggilan masuk dari nomor yang tidak kukenal.

"Halo, selamat siang," sapa suara lembut saat telepon kami tersambung. "Benar saya bicara sama Amiya?"

"Siang. Iya, benar. Maaf ini siapa, ya?"

"Aku Emilia... uhm... Emilia Salim. Istrinya Mas Radi," jawabnya, masih dengan nada ramah. Sepersekian detik kemudian, lawan bicaraku berdeham.

DEG.

Napasku tersekat seketika.

"O-oh, iya, Mbak Emi." Mendadak saja, aku jadi canggung. "Gimana, Mbak?"

"Maaf ya, Miya, aku nelepon kamu tiba-tiba. Aku ganggu kamu nggak, nih?"

"Enggak kok, Mbak. Lagi jam istirahat juga, jadi sama sekali nggak ngeganggu."

"Hmmm," gumam Emilia. "Gini. Amiya, boleh nggak kalau aku ngajak kamu makan siang? Nggak harus hari ini juga, sih."

"Ya? Makan siang... dalam rangka?" tanyaku, belagak bodoh. Sudah pasti bukan untuk menjalin persahabatan sama selingkuhan lakinya lah, Mi!

"Pengin aja ngobrol-ngobrol. Sudah lama juga kan kita nggak ketemu?"

Dalam hati, aku meringis. She said it as if we're close enough. "Oh gitu. Boleh, boleh, tapi minggu ini jadwalku penuh sih, Mbak," jawabku tanpa pikir panjang. Nggak butuh waktu lama buatku menyesali jawaban itu.

Emilia berpikir sejenak. Dia mengusulkan agar kami makan siang bersama hari Selasa di minggu depan, tepatnya di hari Mas Radi harus pergi ke Jakarta. Aku menyanggupi dengan berat hati.

Setelah Emilia menutup sambungan telepon kami, aku lemas sejadi-jadinya. Mestinya, aku berpikir matang soal ajakan itu! Akhir-akhir ini, emosiku sedang labil. Dan lagi, aku masih belum sembuh dari rasa sakit akibat memaksa hati ini untuk melepas Mas Radi. Sebesar apa pun usahaku menguatkan diri, sesekali, aku masih menangisi lelaki itu.

Aku nggak yakin pertemuanku dengan Emilia nanti akan berjalan dengan baik. Paling tidak, hatiku tidak akan baik-baik saja saat berhadapan dengan perempuan yang ditakdirkan menjadi istri dari lelaki yang kucintai setengah mati.

Lamunanku buyar saat Eldian, disusul rekan-rekan kerjaku yang lain—termasuk Mas Radi, mengintervensi ruang meeting. Tanpa membuang waktu, manajerku langsung membuka rapat siang ini.

Sialnya, Mas Radi duduk di seberangku. Aku jadi kesulitan untuk fokus. Melihatnya sekilas saja bisa membuatku teringat pada Emilia.

Bicara soal Emilia, dia pasti sudah tahu kalau suaminya punya selingkuhan. Gimana mungkin Emilia nggak tahu? Sang suami bahkan nggak pernah ada untuknya, karena setiap waktu luang yang Mas Radi punya selalu diberikan untukku. Nggak, ini bukan berarti aku bangga menjadi perempuan 'pilihan' Mas Radi. Apa yang harus dibanggakan dari seorang selingkuhan sepertiku? Nggak ada. Kalau mau jujur-jujuran, harga diri pun aku nggak punya—meski aku menolak mendengar Ibra atau siapa pun mengataiku hal serupa, tapi aku sadar bahwa label itu cocok untuk disematkan padaku. Intinya, Emilia sadar bahwa sejak awal, rumah tangga yang dia jalani tidak berjalan sebagaimana mestinya.

"Sebelum menikah, aku sudah bilang ke Emi kalau aku cinta sama perempuan lain."

"Jadi Mbak Emi sudah tahu soal kita? Dia tahu perempuan yang kamu maksud itu aku, Mas?"

"Enggak. Yang jelas, dia sudah tahu konsekuensi menikah sama aku, jadi kamu nggak perlu merasa bersalah ke dia kayak gini, Miya. Kalau ada orang ketiga dalam hubungan yang aku jalani, itu berarti Emi, bukan kamu. Aku lebih dulu dekat dan cinta sama kamu sebelum menikah sama dia."

Begitulah obrolanku dengan Mas Radi saat aku curhat mengenai rasa bersalahku terhadap Emilia. Aku berasumsi, pada akhirnya, Emilia tahu bahwa akulah selingkuhan Mas Radi. Mungkin karena itu juga Emilia meneleponku dan mengajak ketemuan.

Satu yang aku heran. Gimana bisa Emilia menelepon saat aku sedang tidak bersama Mas Radi? Padahal dia tahu, suaminya masih ke kantor hari ini.

Apa jangan-jangan, Emilia mengamatiku lewat seseorang?

Aku tahu, kesannya berlebihan sekali kalau Emilia sampai mencari orang untuk mengawasiku, tapi menurutku, hal itu bukan tidak mungkin terjadi. Apalagi, belakangan ini mulai terdengar kabar nggak enak tentang Mas Radi.

Sejak awal bulan, berembus gosip bahwa Mas Radi punya selingkuhan. Entah siapa yang menjadi sumber utamanya, yang jelas, kabar itu tiba-tiba menjadi obrolan hangat antarpergawai. Mbak Maira dan rekan-rekan satu tim kami menganggap gosip itu cuma guyonan, kecuali aku, tentu saja.

Gara-gara gosip itu, aku jadi cemas. Aku takut hubunganku dengan Mas Radi terbongkar, makanya aku mempertimbangkan untuk putus dari Mas Radi. Walaupun gosip tentang selingkuhan Mas Radi surut dengan sendirinya, aku tetap tidak bisa tenang begitu saja.

"Amiya? Halo?" Eldian mengetuk meja dengan pulpennya. Bersamaan dengan itu, Mbak Maira menyikut tanganku. "Kamu bisa fokus sedikit, nggak?"

Aku berdeham. "Maaf, Pak," jawabku, panik. Aku kehilangan fokusku sejak Bang Agam mulai menjelaskan hasil analisisnya untuk klien kami, sebuah perusahaan industri yang berencana melakukan investasi konservasi energi.

"Jadi berapa rate of return-nya?" tanya Eldian.

"Lebih dari tujuh puluh persen, Pak," jawabku dengan ragu. Seharusnya, aku bisa menjawab dengan mantap, karena aku tahu berapa angkanya. Cuma lupa aja. Masalahnya, saat ini, otakku sedang kesulitan untuk fokus sehingga aku terpaksa mengotak-atik data di laptop untuk mencari jawaban yang diminta Eldian.

"Angka pastinya, Amiya," tegur Eldian yang mulai terlihat kesal. Saat mood-nya kacau begini, raut wajahnya persis seperti Adian. Duh, kenapa juga aku harus teringat kembarannya, sih?

"Tujuh puluh delapan persen. Hampir tiga puluh persen lebih tinggi dari minimum acceptable-nya," tuturku. Detik berikutnya, aku berkonsentrasi supaya bisa kembali fokus menyimak materi rapat kali ini.

Waktunya kembali profesional, Amiya!

Meet, Prodigious Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang