Chapter 6.2: Ending and Beginning

1.9K 366 35
                                    

"Kalau yang di foto itu bukan interaksi fisik, terus namanya apa?"

Karena terlalu kaget dengan apa yang kulihat, otakku mendadak beku. Sungguh, keberadaan foto itu di luar dugaanku.

Dengan sedikit koreksi pencahayaan, pemilihan angle yang 'bagus', dan hasil yang cukup jelas, aku ragu fotonya diambil tanpa niat dan persiapan. Besar kemungkinan, foto itu hasil jepretan fotografer andal sebab bisa dipastikan, siapa pun yang mengenal aku dan Mas Radi, tidak akan kesulitan untuk mengenali kami dari foto itu.

"Jawab aku, Miya," pinta Emilia. Kali ini, suaranya terdengar berat. Kentara sekali bahwa dia bersusah payah menahan amarah yang siap meledak.

Aku mendongak, menatap wanita berparas ayu yang kini berusaha meredam gempuran air mata. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan dengan adanya bukti senyata ini? Ya Tuhan... ampuni aku. Tampaknya, aku gagal menyembunyikan aibku sendiri.

"Perselingkuhan kamu dan Mas Radi rapi banget, ya? Aku sampai harus bersusah payah nyari bukti." Seulas senyum lolos di bibir Emilia. "Selain jago berstrategi, kalian juga jago banget berakting. Harusnya kamu dan Mas Radi bisa dapat penghargaan Oscar, sih. Sehebat itu akting kalian sampai teman-teman sekantor nggak sadar kalau hubungan kalian lebih intim dari sekadar teman."

Masih, aku terdiam. Ingin rasanya angkat bicara tentang bagaimana caraku mengakhiri kisah dengan Mas Radi, tapi tidak mudah buatku menjelaskan semuanya, terlebih tentang foto yang dimiliki Emilia. Dia akan sangat kecewa kalau tahu Mas Radi lah yang memulai ciuman itu.

"A—aku minta maaf," ujarku yang mulai kehabisan kosakata. Aku juga bingung harus bersikap seperti apa.

"Yang aku butuhin sekarang itu penjelasan kamu, Amiya. Bukan permintaan maaf."

"Satu-satunya penjelasan yang harus Mbak Emi tahu itu... aku dan Mas Radi sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi."

"Apa di mata kamu, aku sebodoh itu, Mi? Aku tahu, foto yang kubawa itu diambil belum lama ini. Jadi bisa kan aku bikin kesimpulan kalau apa yang kamu bilang barusan sama sekali nggak valid?

"Justru foto itu harusnya bikin argumenku valid," selaku cepat.

Tak ada sahutan dari Emilia. Dia menunggu penuturanku tentang foto-foto aku dan Mas Radi. Setelah helaan napas kedua kalinya, barulah aku membeberkan kronologi singkatnya.

"Sudah lama aku punya niat buat mutusin Mas Radi, dan malam itu, aku terima tawarannya buat nganterin aku ke kampus. Foto ini diambil waktu kami bertengkar. Mas Radi nggak terima sama keputusanku dan... apa yang terekam di foto itu... terjadi gitu aja dan—"

"Kamu beneran minta putus atau cuma mau ngancam Mas Radi?"

Keningku terlipat. "Mengancam?"

"Kamu minta putus supaya dia jatuhin talak ke aku, kan?"

Tuduhan Emilia membuatku terhenyak. "Mbak, aku berani bersumpah... aku nggak pernah punya niat bikin kalian cerai!"

"Terus niat kamu apa, Mi? Kamu pengin nyari materi? Atau nyari titel sebagai menantu keluarga Soerjadi?"

Tuduhan Emilia menyakiti harga diriku, tapi aku tidak berusaha menyangkalnya. Selama dia merasa baik-baik saja dengan menganggapku seperti itu, maka aku bersedia menerima tuduhannya itu. Menceritakan apa yang terjadi di balik foto ciumanku dan Mas Radi sudah sangat menyakiti Emilia, dan aku tidak ingin memperparah rasa sakitnya.

Lagi pula, aku tidak tahu harus bicara apa. Urat maluku pasti sudah putus bila aku terang-terangan—mengatakan pada Emilia, bahwa aku tulus mencintai Mas Radi.

Mengenai apa yang kuinginkan dari Mas Radi, terus terang aja, aku tidak tahu. Yang jelas, aku tidak punya impian menjadi bagian dari keluarga Soerjadi. Bagiku, bahagia itu sederhana, nggak perlu materi dan privilege besar seperti yang dikira oleh Emilia. Hanya dengan menghabiskan waktu bercanda dan berbagi cerita dengan Mas Radi, aku sudah merasakan kebahagiaan tak terkira. Meski begitu, tak sedikit pun aku punya dorongan untuk merebut merebut Mas Radi dari Emilia.

Meet, Prodigious Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang