Chapter 2.2: Past and Present

1.2K 247 10
                                    

"Dan lo percaya, Mi?!" Ibra memotong ceritaku dengan tak sabar. Aku masih duduk di hadapannya dengan kepala menunduk, tak sanggup melihat ekspresi Ibra. "Gue nggak nyangka lo mau percaya sama omongan cowok berengsek kayak Mas Radi."

Aku menyeka air mata melihat kemarahan Ibra. Meski sedari tadi, hatiku dibuat sakit mendengar komentar-komentarnya yang pedas dan kejam, aku tetap menemukan kelegaan akhirnya bisa curhat tentang isi hatiku.

"Seandainya dia beneran sayang sama lo, dia nggak akan tega ngebiarin elo berstatus sebagai selingkuhan, apalagi pelakor."

"Astaga, Bra. Gue kan sudah cerita. Mas Radi nggak bahagia sama pernikahannya," selaku cepat, masih dengan suara bergetar.

"Ya terus kenapa anjir?"

Aku mengulum bibir mendengar itu. Ibra nggak akan mengumpat, kecuali kekesalannya sudah tak terbendung lagi.

"Kalau Mas Radi nggak bahagia? Lo nggak punya kewajiban buat jadi sumber kebahagiannya, sampai rela nukerin harga diri lo kayak gini."

"Nukerin harga diri?" tanyaku kaget. "Gue memang selingkuhan Mas Radi, Bra, tapi bukan berarti gue menukar harga diri dan ngasih segalanya buat dia."

Ibra tampak paham maksudku. "Gue percaya lo nggak sebodoh itu, tapi mau ngamar atau enggak, lo tetap sudah mendegradasi value yang lo punya sebagai perempuan. Dengan sadar lho, Mi, lo mau jadi selingkuhan laki-laki beristri! Itu sama aja kayak elo lagi menghina diri lo sendiri."

Selama beberapa menit, ruang makan apartemenku lengang sejenak. Hanya terdengar helaan napas kasar yang diembuskan oleh Ibra, sebagai tanda bahwa amarahnya masih belum surut.

"Jadi, tepatnya nih, sudah berapa lama lo punya affair sama Mas Radi?"

"Setahun... lebih."

"Astaga, Amiya. Setahun ngejalanin perselingkuhan itu bukan khilaf namanya, Mi, tapi niat."

"Demi Tuhan gue juga nggak mau bertahan selama ini, Bra," timpalku kilat. "Tapi... gue juga nggak bisa ninggalin Mas Radi. Gue sayang banget sama dia."

"Kenapa sih sekalinya lo jatuh cinta, harus sama laki-laki berengsek kayak Mas Radi?"

"Dia nggak berengsek, kok," cicitku. "Buktinya, dia ngejaga gue. Nggak pernah ngajakin macam-macam."

"Bukan nggak pernah, cuma belum nemu celahnya aja kali," cibir Ibra sambil menyugar rambutnya. "Lagian, kalau Mas Radi bukan laki-laki berengsek, dia nggak mungkin selingkuh. Sama perempuan yang jadi tanggung jawabnya aja, Mas Radi nggak peduli, gimana sama elo? Bukan nggak mungkin, setelah dia tahu kelemahan lo, ngambil keuntungan dari lo, Mas Radi pergi gitu aja. Kita nggak pernah tahu kan ke depannya gimana?"

"Gue kenal Mas Radi dari lama, Bra," sergahku. "Kalau ada yang harus disalahin dari hubungan ini, ya cuma gue."

"Yah, malah dibelain. Affair takes two tango kali, Mi. Kalau laki-lakinya kuat iman, cukup bertanggung jawab, gue yakin nggak akan terjadi yang namanya perselingkuhan."

Aku mendesah pelan. Apa yang dibilang Ibra ada benarnya, tapi aku tetap merasa, akulah yang paling bersalah. Andai saja aku memakai logikaku saat Mas Radi menyatakan cintanya, dia nggak akan menjadi laki-laki berengsek yang menyelingkuhi pasangannya. "Gue juga nggak mau jatuh cinta ke laki-laki beristri kayak Mas Radi. Masalahnya, gue bisa apa kalau ternyata gue cintanya sama dia?"

"Lo terlalu pakai hati, Mi, padahal lo bisa menghindari perselingkuhan ini seandainya elo memilih logis," ujar Ibra, nggak jauh berbeda dengan isi hatiku. Ah, aku jadi makin bersalah. "Lo pikir manusia dikasih akal biar apa? Ya biar nggak terus-terusan ngandelin perasaan dan terjebak sama emosi nggak berguna."

Dalam satu gerakan singkat, Ibra meraih cangkir berisi kopinya untuk kemudian dia teguk sampai habis. Dia terlalu sibuk menyimak ceritaku, sampai lupa pada kopinya telah lama menunggu untuk disesap.

Usai meneguk isi cangkirnya hingga tandas, Ibra kembali menceramahi aku. Aku merasa seperti seorang adik yang sedang dimarahi habis-habisan oleh sang kakak. Kurang-lebihnya, memang begitulah sosok Ibra untukku. Kami telah bersahabat lebih dari sepuluh tahun, makanya kedekatan kami layaknya kakak-adik.

"Sudahlah. Yang penting, sekarang lo sama Mas Radi sudah nggak ada hubungan lagi," kata Ibra usai mengeluarkan segudang kekesalannya. "Gue sebel banget sebenarnya, setahun lebih lo nyembunyiin semua ini dari gue. Rasanya kayak nggak dianggap jadi sahabat lagi."

"Bukan gitu, Bra. Gue nggak pernah cerita soalnya... gue malu sama lo. Gue paham banget keputusan gue tuh kesalahan besar, dan gue... belum mau berhenti karena terlalu egois."

"Jadi, sekarang apa rencana lo? Nggak mungkin resign, kan?"

Aku menggeleng. "Gue nggak pernah punya opsi buat hengkang dari Maxima."

"Alumnus trainee sih, terikat kontrak jadinya. Terus, lo mau gimana? Nggak bisa pindah ke kantor pusat?"

"Itu memang target gue, Bra, makanya gue ambil MBA. Pas studi gue selesai, gue punya peluang lebih besar buat pindah ke kantor pusat," jelasku. "Buat sekarang ini, gue pengin pindah apartemen aja."

"Pindah lagi?" Ibra mengerjap, tak percaya. "Di sini aja belum genap enam bulan!"

"Gue merasa nggak aman dari Mas Radi kalau tinggal di sini, Bra. Apartemen ini kan sebenarnya punya dia."

"Terus apartemen ini dikasih ke elo, gitu?"

Aku menjilat bibir dengan gugup. "Nggak dikasih, kok. Gue juga nggak akan mau dikasih aset berharga kayak gini. Terlalu... berlebihan," jawabku dengan suara yang teramat pelan. "Secara legal, unit ini punya sepupunya Mas Radi—Robby, tapi di belakang itu, pemilik sebenarnya ya... Mas Radi."

Nihilnya jawaban dariku membuat Ibra menggeleng, tak habis pikir. "Bener-bener deh, Mi. Cinta itu bikin bodoh banget, ya? Lo rela nempatin hunian yang jauh banget dari kantor demi memudahkan Mas Radi buat ngapelin elo."

Dengan pasrah, aku mengangguk, mengakui kenaifanku. "Makanya sekarang, gue pengin pindah, Bra. Gue lagi nyari apartemen di Tera Residence. Ada banyak karyawan Maxima yang tinggal di sana, gue rasa, itu bakal jadi langkah awal yang bagus buat menjauhi Mas Radi. Paling enggak, dia nggak akan berani ngedatengin gue sembarangan. Lo mau bantu gue kan, Bra? Cariin gue unit kosong di Tera, pasti bokap lo banyak kenalan di sana. Please... please banget ini mah."

Lawan bicaraku menghela napas panjang. Setelahnya, Ibra manggut-manggut paham. "Gue usahain. Tapi, selain Tera, lo punya opsi lain, nggak? Jaga-jaga aja, soalnya setahu gue, unit dua kamar full furnished—kayak yang lo mau tuh— jarang ada yang disewain."

"Sebisa mungkin gue penginnya di Tera Residence, Bra. Apartemen satu kamar juga nggak apa-apa. Urusan adik gue mampir ke Bandung, bisa diatur nanti."

Rencanaku itu diamini oleh Ibra. Dia berencana mengambil gerak cepat untuk mencarikan aku hunian di apartemen yang aku mau. Aku yakin, nggak butuh waktu lama buatku menerima kabar baik tentang unit kosong di Tera Residence.

Jam menunjukkan pukul sembilan malam saat Ibra pamit pulang. Aku mengantarnya sampai lobi apartemen, sekalian mau mampir ke minimarket untuk membeli camilan sebagai teman lembur.

Sekembalinya dari mini market, aku melihat Adian di lobi apartemen. Dia sedang menunggu lift sambil mengobrol dengan teman wanitanya. Sesekali, aku memang berpapasan dengan Adian di sekitaran tower tempatku tinggal. Entah apa yang dia lakukan di apartemen ini, yang jelas, Adian nggak pernah terlihat datang bersama teman wanita. Baru kali ini saja.

Dari tampak belakang, wanita itu terlihat menarik. Tinggi semampai, langsing, dan berkulit putih. Perawakannya bak pramugari. Aku jadi penasaran seperti apa wajah wanita itu. Biasanya, laki-laki nyaris sempurna seperti Adian itu sangat pemilih dalam urusan pacar.

Mataku terbelalak saat wanita itu mengubah posisinya, membuatku bisa melihat wajahnya dari samping. Aku segera memalingkan wajah dan mengambil langkah cepat untuk menjauhi lobi.

Astaga.

Kenapa ada Emilia Salim di sini?


TBC

Please kindly leave marks through star and comment! 

XOXO,

Rachel

Meet, Prodigious Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang