Chapter 6.1: Ending and Beginning

1.9K 358 46
                                    

Sebelum berangkat ke kantor, aku menyempatkan diri menengok Adian. Kebetulan, aku masak nasi goreng kebanyakan. Daripada mubazir, kupikir nggak ada salahnya aku membagi untuk tetangga sebelah.

Semalam aku melihat Adian turun dari taksi online. Dia tidak bisa menyetir mobil sendiri karena kondisi tangannya. Kurasa cedera yang dialami Adian lumayan serius. Sudah lebih dari seminggu dan tangan Adian masih harus dibebat.

Aku menekan bel pintu apartemen Adian. Sudah dua kali membunyikannya, tapi tak ada jawaban. Apa dia baik-baik saja di dalam sana?

Sekali lagi, aku menekan bel pintu. Anggap aja sedang , aku sedang mencoba peruntunganku. Aku sudah mengambil satu langkah mundur ketika akhirnya Adian membuka pintunya.

"Pagi, Pak Adian," sapaku ramah. Kupikir, aku akan melihat Adian pakai piyama. Ternyata aku salah. Dia terlihat rapi, mungkin sama sepertiku, siap berangkat kerja.

Aku belum cerita ya kalau Adian itu konsultan IT? Aku nggak tahu rincinya, tapi yang jelas, Adian itu seorang programmer. Kabar yang kudapat dari Mbak Dathu, Adian dan beberapa temannya sedang merintis sebuah perusahaan teknologi yang berkantor di jalan Citarum. Pantas saja dia mengambil kuliah MBA, sebagai perintis, tentu Adian butuh lebih banyak pengetahuan tentang aturan bisnis.

"Pagi." Adian melayangkan tatapan menyelidik. "Ada apa, ya?"

"Saya masak nasi goreng buat sarapan, ternyata kebanyakan. Saya sengaja misahin buat Bapak. Lumayan buat mengganjal perut."

"Oh," katanya seraya mengambil piring yang kusodorkan. "Ini... aman dimakan nggak, nih?"

"Aman, dong," sahutku kilat. "Nggak ada peletnya, kok. Saya bukan penggemar dunia klenik. Lagian Bapak kan separuh bule, jadi server-nya pasti beda. Bakal agak susah buat dikirimin teluh."

Adian tampak terhibur dengan jawabanku, kentara dari binar matanya. Meski begitu, ekspresinya nyaris lempeng—karena dia hanya melempar senyum yang kelewat tipis.

"Makasih, ya. Tapi jangan sering-sering."

"Kenapa? Takut makanan bikinan saya nggak enak? Belum juga dirasain."

"Bukan gitu. Saya cuma nggak suka ngerepotin orang."

"Kalau Bapak terima, itu artinya Bapak sudah bantu saya. Repot kalau nasi gorengnya nggak ada yang ngehabisin," kataku. "Ya sudah, saya berangkat kerja dulu. Semoga cepat sembuh ya tangannya."

Tanpa menunggu lebih lama, aku pamitan pada Adian. Takutnya, kebanyakan basa-basi malah mengaktivasi mulut pedas lelaki itu. Nggak oke kan, kalau aku dibuat frustrasi sebelum sampai di kantor?

&&&

"Lo mending turun, biar dia nggak nunggu lo kelamaan," tegur Ibra. "Kalau gue tahu yang mana orangnya, gue turun sekarang buat pesan meja yang nggak jauh dari meja kalian nanti."

Aku memijat pelipisku usai menengok jam di tangan kiriku. "Kami janjian jam setengah satu, masih ada waktu sepuluh menit lagi kok," kataku. "Duh, gue harus gimana ya ngehadapi Mbak Emi? Kalau dia nanya soal gue dan Mas Radi, baiknya gue jawab apa?"

"Jawab seperlunya aja lah, Mi," saran Ibra. "Gue ngerti lo ngerasa bersalah sama Mbak Emi, tapi kan hubungan lo dan Mas Radi sudah selesai. Baiknya sih nggak usah diungkit-ungkit. Hubungan kalian itu bisa dibilang aib. Aib orang aja harus kita tutupi, apalagi aib sendiri."

Berbekal nasihat dari Ibra, aku merasa lebih mantap untuk menghadapi Emilia. Aku turun dari mobil hatchback Ibra dan memasuki Noir's Barn, restoran tempat aku dan Emilia janjian untuk makan siang.

Meet, Prodigious Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang