Chapter 4.2: It's About Time

1.8K 288 36
                                    

"Tumben pulang cepat. Tristan lagi di Bandung?" tebak Mbak Maira saat melihat aku sudah mematikan komputer.

Tristan adalah adik laki-lakiku yang sedang menempuh studi S1 di Depok. Mbak Mair menebak soal kedatangan Tristan karena setiap kali adikku datang menjenguk, sudah pasti, aku pulang lebih cepat dari biasanya. Namun, tebakannya kali ini meleset. 

"Enggak. Lagi pengin lembur di rumah baru."

"Lo jadi pindah ke Tera Residence?!"

Aku melirik Mas Radi yang sedang mengobrol bersama Bang Agam. Kubikel Bang Agam tepat di sebelah kubikelku, sehingga tentu saja, dia bisa mendengar obrolanku dengan Mbak Maira. "Sudah, dong!" seruku riang.

Tiba-tiba saja, Bang Agam dan Mas Radi menghentikan obrolan. Bang Agam kini berdiri dan bertopang dagu pada sekat kubikel kami sementara Mas Radi berdiri dua langkah di belakangnya. "Eh, apa aku tak salah dengar? Kau pindah apartemen, Mi? Perasaan, baru kemarin kau nempatin Dago Suites."

"Gue sudah nggak betah, makanya pindah ke Tera."

Mas Radi menyipitkan matanya. Lelaki itu sama sekali tidak berusaha menyembunyikan kedongkolannya. "Sejak kapan kamu pindah, Mi?"

"Dua hari lalu, Mas."

"Masuk jajaran anak geng Tera dong sekarang. Anak elit nih ceritanya," canda Mbak Maira yang cukup melegakanku. Setidaknya, perhatianku teralihkan dari Mas Radi.

Bang Agam kemudian menyinggung soal geng yang dimaksud Mbak Maira. Tentu saja geng itu tidak pernah benar-benar ada, hanya saja, beberapa orang yang tinggal di Tera memang biasanya akrab satu sama lain. Dari Bang Agam, aku tahu di lantai berapa saja 'anggota' geng Tera tersebar, dua di antaranya adalah senior HRD di kantor kami.

Penjelasan Bang Agam membuat Mas Radi terlihat semakin kesal. Dia bahkan meninggalkan kami sebelum aku pamit pulang. Terbersit rasa sedih saat melihat sikap Mas Radi barusan, tapi di saat yang bersamaan, aku juga merasa lega. Semoga sekarang Mas Radi paham seberapa besar keinginanku untuk mengakhiri hubungan gelap kami.

Aku sudah duduk manis di taksi online pesananku saat Mas Radi menelepon. Bisa kutebak di mana dia sekarang, sudah pasti di parkiran, di dalam mobilnya. Mas Radi nggak mungkin ceroboh kalau dia mau meneleponku sebagai kekasihnya. Atau mantan kekasihnya?

Otakku sudah menginstruksikan untuk me-reject panggilan Mas Radi, tapi ibu jariku seolah punya keinginan sendiri. Selama beberapa detik pertama, aku hanya menatap layar ponselku.

"Mi? Halo? Mi?!"

"Kenapa, Mas?"

"Kamu beneran pindah apartemen? Gara-gara aku?"

Aku hendak menjawab iya pada pertanyaan Mas Radi, tapi mengingat betapa kecewanya dia di menit terakhir pertemuan kami hari ini, aku mengurungkan niat itu. Aku... nggak tega menyakitinya lebih jauh. "Enggak. Aku memang sudah nggak betah, kejauhan dari kantor, sih. Jadwalku sekarang kan padat banget, weekend aku kuliah, jadi kalau pindah apartemen lebih praktis dan—"

"Kenapa sih kamu harus ngambil tindakan sejauh ini, Mi? Segitu penginnya kamu putus sama aku?"

Aku terdiam cukup lama. "Sudah lah, Mas. Ngapain lagi sih kita perpanjang urusan ini? Terima aja keputusanku, biar kita nggak terus-terusan nyakitin satu sama lain."

"Nah, kan! Ngapain minta putus kalau ternyata itu bikin kamu sakit? Mi, belum terlambat buat kita memperbaiki hubungan ini."

"Apa yang mau kita perbaiki? Dari awal, hubungan ini cuma ngerusak satu sama lain, Mas! Kamu sadar nggak sih kalau—" Aku bungkam begitu sadar sopir taksi mengamatiku dari spion. "Mas, aku lagi capek banget. Sudah dulu, ya."

Meet, Prodigious Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang