2.

6.2K 863 16
                                    

Jelena menatap Yolanda yang tertidur pulas di dekapannya. Mengecup lama dahi bayi kecil itu dan menatap kearah jendela kaca memperlihatkan butiran air hujan yang mengembun.

Beberapa saat yang lalu Naya pergi ke istana terlebih dahulu untuk penyambutannya nanti.

Kalau boleh jujur saat ini tangannya seperti mati rasa tapi jika bayinya di letakan kembali di ranjang yang ada akan menangis kencang.

Sekarang dirinya menunggu kedatangan kedua putranya ah putranya. Entah kenapa Jelena terkekeh pelan saat mengingat betapa tragis hidupnya. Sebelum pergi tadi Naya mengatakan jika Zeno berusia 13 tahun dan Alec 11 tahun.

Pintu ruangan terbuka menampilkan dua remaja dengan sosok yang mengagumkan untuk dilihat. Keduanya menampilkan raut wajah yang tidak dapat ditebak.

"Selamat sore, Mama." Ucap remaja yang lebih tinggi dengan nada acuh tak acuh.

Jelena hanya mengangguk sekilas mengabaikan denyutan sakit dihatinya. Yang Jelena yakini perasaan Jelena yang dahulu masih membekas dalam tubuhnya sekarang ini.

"Lihat. Adik baru kalian cantik bukan seperti Mama?" Jelena menyodorkan tubuh Yolanda di hadapan mereka. Sayangnya respon keduanya sama sekali tidak sesuai ekspetasi Jelena.

"Apa Mama benar-benar hilang ingatan?" Mengabaikan tingkah aneh Jelena, Alec bertanya dengan ragu.

"Apa maksudmu? Mama ini benar-benar hilang ingatan tahu. Lihat dahi cantik ini, awas saja ternyata kecelakaan ini disengaja akan aku habisi orang itu." Jelena bersungut-sungut seraya menunjuk luka di dahinya.

Tersadar Jelena kembali bersikap anggun dan merutuki tingkahnya yang terlalu tak tahu malu. Namun menatap kedua putranya yang masih tidak berekspresi membuatnya tak nyaman.

"Anda terlihat berbeda dari sebelumnya." Ucapan Zeno mendapatkan anggukan setuju dari Alec.

"T-tidak kok. Mama ini tetap sama. Ah iya, kalian ini kenapa berbicara seperti itu pada Mama? Berbicaralah dengan normal seperti Ibu dan anak."

"Bagaimana bisa Mama? Ini sudah menjadi aturan dalam hukum Kekeluargaan."

"Benar apa yang dikatakan kakak."

"Nah lihat, Alec saja memanggilmu seperti adik pada umumnya bukankah itu tidak sopan!?" Jelena menunjuk tepat didepan hidung mancung Zeno.

"Maafkan saya. Saya janji tidak akan mengulanginya kembali." Alec merasa tubuhnya menggigil membayangkan hukuman apa yang akan dia terima.

"Jangan hukum  Alec." Ucap Zeno dengan nada memohon.

"Aku akan menghukum kalian!" Jelena ber smirk ria membayangkan hukuman apa yang akan mereka jalani.

"Maafkan Alec. Hukum saya saja dan jangan  Alec."

"Hey! Kalian siapa beraninya menyuruhku!?" Jelena tertawa jahat dalam hati melihat muka memelas kedua putranya.

"Maafkan saya."

"Hukuman kalian adalah~

Jelena menjeda perkataanya dan menikmati raut ketar-ketir kedua pangeran itu.

~seumur hidup kalian harus memanggilku sebagaimana mestinya anak memanggil ibunya. Dan bersikap normal padaku, mengerti."

"T-tapi Mama. Hal tersebut melanggar hukum tata krama yang ada."

"Jika membantah kalian akan ku buang ke tengah hutan."

"Mama." Wajah memelas mereka berdua diabaikan begitu saja oleh Jelena yang asik mengelus dahi berkeringat Yolanda.

"Disini ada AC tidak sih. Kasihan bayiku kepanasan."


🍂

Ruangan bernuansa gelap menampilkan kesan suram itu dipenuhi pria dengan setelan jas mahal. Duduk melingkar dengan satu diantaranya menonjol di tengah-tengah dengan kursi kebesarannya.

"Apa ada info lagi, Niko?" Ucap pria dengan jas yang masih bersih dibandingkan lainnya. Tangannya memutar pisau dengan ahli sesekali akan mengarahkan ujung tajamnya pada bidikan di dinding.

"Nyonya sudah sadar kembali, Tuan. Menurut dokter, Nyonya Jelena kehilangan ingatan bahkan cara bicaranya pun terlihat berbeda dari sebelumnya."

"Kak apa menurutmu dia pura-pura hilang ingatan agar tidak berurusan denganmu lagi?" Tanya pria dengan gigi kelincinya.

"Kurasa tidak. Jika berbohong maka pasti sejak tadi dia akan menghubungi mu terus menerus." Perkataan masuk akal dari pria dengan kaca mata membuat sebagian orang merasa terpukau.

"Sudahlah. Biar aku yang akan mengurusnya."

"Sebelumnya aku ingin bertanya padamu. Apakah kau yang membuat Jelena kecelakaan?" Tanya pria dengan ukuran tubuh lebih rendah dari mereka.

"Bagaimana bisa aku membunuh anakku sendiri, Jeremy."

"Siapa yang tahu akan dilakukan pria gila seperti mu, Malik" Mereka terkekeh mendengar raut wajah menjengkelkan Jeremy.

"Apa kau berniat mencari tahu siapa penyebab kecelakaan?" Tanya pria yang sedari tadi hanya berdiam mendengarkan obrolan.

"Tentu. Dan akan kupastikan hidupnya akan membusuk di neraka."

"Kurasa istrimu itu menyinggung seseorang yang kuat." Ucap pria berkacamata, Raymond.

"Apa kau bercanda kak? Bahkan bernapas saja wanita jahat itu dapat menyinggung banyak orang."

"Aku tidak tahu kenapa kau membenci Jelena segitunya, Jeremy."

"Kau tidak tau Ray? Jeremy pernah terjatuh dari kolam karena wanita itu, astaga bahkan aku masih mengingat kejadian memalukan itu." Tawa jahat keluar begitu saja dari Evander.

"Awas saja akan kubunuh wanita itu."

"Sebelum itu aku akan membunuhmu."

"Andreas kau membelanya? Cuih."

"Lihatlah kau seperti uke." Ucapan Justin menimbulkan tawa menggelegar dari banyak orang di sana.

"Maaf mengganggu, Tuan. Sepertinya ada masalah dengan perusahaan cabang." Ucap Niko menahan sisa tawanya.

Suasana kembali serius, Andreas berdiri dan menatap bidikannya yang terlihat masih kosong. Terkekeh pelan dia melemparkan pisau tepat mengenai titik tengahnya.

"Justin, aku serahkan tugas perusahaan untukmu. Arahkan beberapa pengawal mu membunuh tikus kecil itu tanpa sisa. Sedangkan Jeremy buru tempat persembunyian mereka. Bakar tanpa meninggalkan bukti apapun."

"Kak Raymond, cari tahu siapa yang menyuruh  Arthur bisa bertindak serendah itu. Dan kak Evans, ancam Arthur dengan caramu termasuk membunuh salah satu keluarganya."

"Pertemuan kali ini selesai. Tiga hari kalian harus bisa menyelesaikan semua masalah ini."

Andreas pergi begitu saja meninggalkan raut frustasi dari setiap orang di sana.

"What the hell? Padahal aku akan melakukan kencan dengan istriku." Ucap Jeremy menendang meja melampiaskan kekesalannya.

"Argh. Astaga akan ku bunuh Arthur, beraninya mengganggu liburanku." Umpatan terus keluar dari mulut Justin.

"Arthur akan menjadi sasaran Andreas.  Lampiaskan kekesalan mu pada pasukannya." Ucap Raymond dengan tenang.

"Aku menanti bagaimana Arthur akan memilih kematiannya sendiri." Evander terkekeh membayangkan penyiksaan yang akan diperbuat Andreas.

"Siapa yang mengira tikus kecil itu berani menodongkan bukti seperti ini."

"Timbunan narkoba dibalik suksesnya Malik's Corp. Siapa yang berani mengusik Andreas? Orang ini benar-benar siap mati."

100 vote untuk membuka part selanjutnya :)

Mi casa (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang