- malam, Nadin

115 16 10
                                    

hari ini aku bercerita
pada Nadin Amizah yang
tengah menenangkan raung
dalam ruang kepalaku.

dua tiga empat sembilan
entah sudah berapa banyak
ia memukul dadaku dengan
suara yang tak dapat kugapai
sebab tanganku terlalu kecil.

seolah-olah (ah, sial, kenapa hidup selalu penuh dengan perumpamaan?) —

ia enggan menjamah
sudut kamarku dan ia ingin
membangun tembok tinggi agar
aku tak dapat mengetuk pintunya dan mengantongi tenang dalam setiap bait yang ia punya.

“aku lelah, Nadin.”

dan seseorang itu hanya
diam.

“aku ingin menyerah, Nadin.”

dan rintik pun turun.

dan aku kembali menari di atas bait yang tenangnya tak bisa lagi aku kantongi.

—para

note: terkadang air mata adalah jawaban dari sebuah tanya. “aku mengerti” ucap Nadin di salah satu lirik lagunya.

Di Bawah KolongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang