TDL 09 [Menagih janji] ☑️

624 44 6
                                    

Kami memberikan keranjang itu kepada ibu Susi, seperti biasa kami hanya di perbolehkan mandi setelah pukul delapan malam.

🍃

Setelah kami selesai mandi seperti biasa kami duduk di ruang depan menyusul bapak Bima dan bapak Widi, sedangkan ibu Susi masih sibuk menyiapkan makan malam untuk kami semua.

Bukanya kami tidak peka atau tidak mau membantunya, tetapi setiap kami ingin membantu, ibu Susi selalu menolak dan meminta kami menunggu di depan saja.
Bahkan kami tidak di perbolehkan masuk ke dapur, tempat beliau memasak.

🍃

"Maaf, Pak. Kami sudah tinggal disini dua hari dua malam, besok adalah hari ke tiga kami merepotkan bapak dan ibu Susi di rumah ini.
Apakah bapak berkenan mengantar atau sekedar menunjukan jalan untuk kami besok?" Tanya Bayu mengawali pembicaraan sekaligus menagih janji mereka.

"Apa kalian tidak betah tinggal disini?"

Bayu terdiam sejenak, "Maaf Pak. Bukanya kami tidak betah tinggal disini, apalagi bapak Bima dan bapak Widi sangat baik pada kami, terutama ibu Susi." Bayu menjelaskan dengan sangat berhati-hati.

Ibu Susi sibuk menyiapkan makan malam ke meja makan, ia hanya melirik sekilas dan tersenyum tipis ke arah kami.

"Mengapa begitu terburu-buru? Kalian boleh menginap di sini beberapa hari lagi." Ucap bapak Widi.

"Maaf sekali lagi, Pak.
Kami sangat merindukan keluarga di rumah, terutama kedua orangtua kami.
Mereka pasti sedang mencemaskan kami, karena beberapa hari ini kami tidak bisa memberi kabar karena kendala sinyal." Jelas Bayu lagi.

"Iya, Pak. Kami akan membatalkan rencana ke desa Wunggeni, dan langsung pulang ke rumah kami masing masing saja setelah ini," Aku berusaha membantu Bayu. Karena mereka seperti enggan melepas dan menepati janjinya.

"Mengapa kalian tidak tinggal bersama kami saja di sini? Kami senang dan tidak merasa di repotkan." Kekeh bapak Bima.

"Astaghfirullah"

Kami saling memandang.

"Maaf sekali lagi, Pak. Tolong izinkan kami pulang, tepati janji bapak Bima dan bapak Widi, ya. Kami di rumah juga punya keluarga yang pastinya, mereka sedang mencemaskan kami.
Kami juga harus melanjutkan sekolah di kota." Sambung Radit.

"Tapi kami mau, kalian lebih lama lagi di sini!" Kekeh bapak Bima, yang membuat rasa takut kami.

"Bapak ini apa-apaan sih! Mentang mentang bapak udah baik sama kami, ngasih makan, dan ngasih tempat tinggal gratis, jadi bapak merasa berhak menahan kami? Begitu, Pak?!
Kami itu punya keluarga! Kami punya rumah sendiri! Kami rindu rumah!
Apa bapak nggak mikirin keluarga yang lagi ngawatirin kami? Gimana kalau misalkan, bapak lah yang ada di posisi mereka?"

Ucap Brian sudah tidak bisa meredam emosi. Bahkan ketika kami memberi kode agar Brian diam, dia malah semakin melampiaskan amarahnya.

"Dikira bapak, kami itu betah di sini? Enggak pak! Kami itu terpaksa, supaya bapak mau mengantar, setidaknya menunjukan jalan keluar agar kami bisa pulang!
Lagian kalian aneh-aneh saja, nunjukin jalan aja, kita harus nginep di sini selama tiga hari! Udah gitu, nggak nepati janji, malah mau menahan kami disini."

"Kalo mau nolong itu yang ikhlas, Pak. Setidaknya dapet ganjaran gede, jangan mempersulit kami yang sedang sulit.
Kami pengen cepet pulang, dimana kami bisa santai di rumah, asik main hp, makan enak di reatoran mewah, tidur di kasur yang empuk, dan yang paling penting bisa nongkrong bareng sama temen-temen!"

"Kalau bapak merasa dirugikan karena kami makan gratis disini, kami bisa menggantinya kok dengan uang, tapi jangan dengan menahan kami begini jadinya!" Sambung Brian, mengutarakan isi hatinya.

Lagi-lagi Brian menjawab dengan songong, dan tidak di pikirkan terlebih dulu.
Ya, memang ada benarnya perkataan Brian tentang mereka. Tapi tidak harus menyinggung perasaan ketiganya seperti itu, karena mereka-lah, kami bisa tidur nyenyak dan merasa aman di dalam rumah.
Kami juga tidak kelaparan, karena ibu Susi meratu dan merajakan kami di rumah ini.

Kami sudah bersusah payah bertutur kata baik, sopan dan santun agar mereka tidak tersinggung, dan mau menepati janjinya, tapi Brian malah merusaknya.

Firda menjitak kepala Brian dengan keras agar Brian sadar, apa yang di katakan nya itu sangat tidak sopan dan menyinggung mereka.
Kami juga sedikit kesal dengan jawaban bapak Bima tadi, tapi setidaknya kami bisa mengontrol emosi agar bisa menjaga lisan.

Bapak Bima dan bapak Widi memandang tajam wajah Brian dalam-dalam, sorot matanya berbeda, terkesan mengerikan!

Mereka menahan amarah, dengan senyuman kecut yang mereka lontarkan, kemudian senyuman itu hilang seketika dengan pandangan penuh arti.

"Kami tidak butuh uangmu! Besok akan kami tunjukan, agar kalian bisa cepat pulang!" Ucap bapak Bima dengan nada menekan.

Kami terdiam, rasa tidak enak dan sungkan kepada mereka semakin besar. Lagi dan lagi, Brian berulah.

Ibu Susi duduk di sebelah kami, beliau tersenyum dan mempersilahkan kami untuk segera makan.

"Ayo di makan, jangan di pikirkan. Kita tidak apa-apa kok. Maafkan kami ya, yang seolah mau menahan kalian. Itu karena kami senang sekali, rumah ini rame karena kehadiran kalian.
Ibu kan tidak punya anak, jadi kami sudah menganggap kalian itu seperti anak kami sendiri." Ungkap bu Susi, kemudian ia termenung sesaat.

Mendengar ucapan ibu Susi, membuat kami semakin merasa bersalah.

"Maafkan kami, Bu. Maafkan perkataan kami, jika membuat Ibu tersinggung." Ucap Firda dan di angguki ibu Susi dengan mata yang berkaca-kaca.

"Maafkan kami juga ya, Bapak pasti akan menepati janjinya untuk mengantar kalian pulang. Iya kan Pak?"

"Iya, Bu. Pasti. Maafkan saya ya anak-anak." Kata pak Bima, lemah.

Setelah melakukan ritual bermaaf-maafan, bu Susi meminta kami menyantap makanan yang sudah ia masak.
Kami menyuapkan makanan dengan perasaan sungkan, malu dan menyesal telah berpikiran buruk pada mereka.

Lain dengan Brian, dia yang tetap asik menikmati makanan, tanpa ada rasa malu bersalah sedikitpun.
Kami hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku Brian. Dia tidak menyadari, sudah sejak tadi bapak Widi memperhatikan setiap gerak geriknya dan menatapnya sangat lama.

🍃

"Hari sudah malam, beristirahatlah untuk persiapan besok!" Ucap bapak Widi datar.

Nisa, Firda dan Rina masuk ke dalam kamar yang bersebelahan dengan kamar Brian, Bayu dan Radit.

BERSAMBUNG.

 TERJEBAK DI DUNIA LAIN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang