Bab 2. Bukan mengusir
"Taiga, ternyata kau ada di sini," ucap Ojota keluar dari pintu belakang rumahnya. Menghampiri Taiga yang duduk di tepi lantai beranda.
Taiga berusia lima tahun, menoleh ke arah Ojota yang duduk bersisian dengannya. "Ayah, kenapa kita tidak memiliki nama marga?"
"Kenapa kau menanyakan itu?"
"Karena aku ingin tahu saja."
"Kita tidak memiliki nama marga. Hanya para bangsawan yang memilikinya."
"Oh, begitu. Berarti nama lengkapku, hanya Taiga saja?"
"Ya."
Ojota mengangguk, mengelus pucuk kepala Taiga. Bangga dengan kecerdasan yang dimiliki Taiga. Sejak berumur satu tahun, Taiga bersikap berbeda dari anak-anak seusianya. Dia bisa berbicara lantang layaknya orang dewasa sehingga orang-orang desa menyebutnya anak yang ajaib.
"Taiga, karena umurmu sudah menginjak lima tahun, sudah tiba saatnya untuk kau mempelajari ilmu seni berpedang," ungkap Ojota tersenyum, memegang kedua bahu Taiga erat, "Ayah ingin kau menjadi samurai yang hebat seperti Ayah."
"Hah? Samurai? Bukankah pekerjaan Ayah itu petani?" tanya Taiga tercengang.
"Ya, dulunya, Ayah adalah samurai. Ibumu juga samurai. Karena suatu hal, kami berhenti menjadi samurai."
"Kenapa Ayah dan Ibu berhenti menjadi samurai?"
"Kau akan mengetahuinya saat usiamu menginjak tujuh belas tahun nanti. Oh ya, tunggu, Ayah ambil pedang dulu."
Ojota bangkit berdiri dan berlari masuk ke rumah. Taiga yang ditinggalkan, hanya bermuka datar. Tapi, matanya menyipit.
Sepertinya, ayah menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, apa?
Taiga bermonolog. Menarik pandangan ke langit yang cerah tanpa awan. Burung-burung kecil tampak beterbangan di atas sana. Bermain bersama dengan kawan-kawan. Bersenda gurau, bebas dari segala tekanan kehidupan.
Taiga mulai mengingat masa lalunya --- kehidupan di dunia sebelumnya, saat berusia satu tahun. Sebab itu, dia berperilaku seperti dirinya yang dulu --- Senkuhara, sang Arkeolog. Namun, ada yang membuatnya sangat sedih.
Aku tidak akan pernah merasakan perasaan kecewa, sedih, dan bahagia itu. Hanya hampa yang kurasakan.
Suara hati Taiga mengalun lagi. Hatinya sedang nelangsa, tetapi perasaan itu tidak tercermin di wajahnya. Hanya embusan napas pelan keluar dari hidungnya. Berusaha menghibur diri sendiri.
"Taiga, ini pedangmu." Tiba-tiba, suara Ojota membuyarkan semua lamunan Taiga. Ojota menodong muka Taiga dengan pedang kayu.
"Ya, Ayah." Taiga mengangguk, menyambar pelan pedang kayu itu.
"Kau kenapa?"
"Tidak ada apa-apa."
"Sejak berumur satu tahun, kau bersikap kaku seperti boneka saja. Tapi, jika kau sedang marah, kau berekspresi mengerikan sekali. Sekarang, kau semakin tidak berekspresi."
"Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku."
"Mungkin bawaan sejak lahir. Ya, sudah. Kita mulai latihan saja."
Taiga mengangguk dengan sorot mata lemah. Dia mengikuti langkah Ojota. Kemudian mereka berhenti, saling berhadapan. Berjarak beberapa langkah.
"Taiga, perhatikan baik-baik. Ayah ajari gerakan dasar dari seni pedang. Begini caranya!" ujar Ojota mengayunkan cepat pedang vertikal ke bawah dengan kedua tangannya dengan kaki kanan ke depan. Ekspresinya sangat serius. "Cobalah sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Voyage
FantasyArt Cover By Hikasya Shinji Senkuhara, seorang duda yang berprofesi sebagai Arkeolog, tiba-tiba bertemu dengan sosok berjubah hitam di sebuah gua. Dia mengajukan sebuah permintaan, lalu sosok jubah hitam mengabulkan permintaannya. Senkuhara terlahir...