7. Kejadian yang mengejutkan

1 0 0
                                    

Telapak tangan kiri Taiga yang terluka, kini telah mengering setelah dibersihkan dengan kain putih. Taiga tidak merasakan sakit apapun karena terfokus pada wajah Harumi. Harumi sibuk mengobati lukanya dengan cekatan. Kini luka itu ditutupi dengan obat penyembuh yang diracik Harumi sendiri dan kain putih untuk menahan obat itu agar tetap melekat di luka.

"Jangan pandang aku seperti itu!" seru Harumi menepuk pipi kiri Taiga dengan keras.

Taiga terkesiap, membulatkan mata sempurna. "Maaf, Harumi. Kau memang benar-benar mirip dengan Ito, istriku."

"Istri? Kau tampak masih muda, bagaimana bisa kau memiliki istri dan juga anak?"

"Apa kau percaya dengan reinkarnasi?"

"Reinkarnasi? Ya, aku sedikit percaya dengan itu. Memangnya kenapa?"

"Dulu, ketika hidup di dunia lain, namaku Shinji Senkuhara, seorang Arkeolog. Aku sudah pernah menua. Umurku lima puluh tahun. Aku hidup lagi sebagai Taiga di dunia ini, karena pernah bertemu dengan sosok misterius di sebuah gua aneh. Sosok misterius itu memberiku kesempatan untuk mengulang kehidupan sekali lagi, sebagai penebusan kesalahan karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga tidak ada waktu bagiku untuk berkumpul dengan keluarga."

Taiga menceritakan perihal dirinya saat menjadi Senkuhara. Harumi yang mendengarkan, menunjukkan ekspresi berbeda. Kemudian Taiga mengakhiri ceritanya, memegang kedua tangan Harumi dengan kuat.

"Untuk menebus kesalahanku karena merobek pakaianmu, aku akan menikahimu hari ini. Aku akan menjagamu sepenuh hatiku. Harumi, apa kau mau menikah denganku?" kata Taiga bertampang serius.

Harumi sedikit melebarkan mata. "Kita ini baru kenal beberapa hari. Secepat itu, kau melamarku? Taiga, jangan terburu-buru. Aku tidak bisa menikah denganmu karena aku tidak memiliki perasaan cinta padamu."

"Tapi, aku harus bertanggung jawab karena sudah merobek pakaianmu. Dengan menikah, aku bisa menjaga kehormatanmu."

"Bertanggung jawab bukan seperti itu."

"Lalu aku harus bertanggung jawab seperti apa?"

Taiga menatap mata Harumi lekat-lekat. Keningnya mengerut. Jantungnya berdebar keras menanti jawaban Harumi.

"Kau harus menuruti apa yang kuperintahkan padamu. Bagaimana?" Harumi melepaskan kedua tangannya dari kekangan tangan Taiga. Menukikkan alis. Bertampang serius.

"Maksudmu, kau menganggapku sebagai pelayanmu, begitu?" Taiga melebarkan mata.

"Ya. Apa kau keberatan?"

"Aku keberatan, dan aku tidak mau menuruti apa yang kau perintahkan!"

"Ya, sudah. Aku pergi!"

Harumi bergegas melangkah, memunggungi Taiga. Taiga terperanjat, meraih pergelangan tangannya. Dia bertampang datar. Hatinya sedih, tetapi tidak bisa merasakan perasaan itu. Tidak mau kehilangan Harumi lagi.

"Jangan pergi lagi, jadilah teman seperjalananku. Ya, aku mau menuruti apa yang kau mau. Asal aku bisa menebus kesalahanku karena merobek bajumu," ujar Taiga dengan nada yang datar.

Harumi menoleh ke arah Taiga, tersenyum. "Bagus. Kau memang laki-laki yang bertanggung jawab. Sekarang kau bawa barangku ini. Aku juga pinjam mantelmu, ya?"

Harumi melepaskan bungkusan kain besar yang disandangnya di punggungnya. Dia memberikan barangnya itu pada Taiga. Taiga mengangguk, terpaksa menggendong bungkusan kain seperti tas bertali satu di punggungnya. Dia juga meminjamkan mantelnya agar bisa dipakai Harumi.

"Berat sekali. Sebenarnya apa yang kau bawa di bungkusan kain ini?" tanya Taiga tanpa ekspresi.

"Semua pakaianku dan peralatan ninja," jawab Harumi tersenyum lagi, lalu mengambil sesuatu dari balik rok setengah pahanya, "aku juga menyimpan uang di sini."

"Hei, kenapa kau menyimpan uang di sana? Apa kau tidak takut diincar oleh pria belang?"

"Aku pernah diincar beberapa kali oleh perampok dan pria hidung belang. Tentu aku tidak takut pada mereka, karena aku bisa membereskan mereka dengan kemampuan ninjaku."

"Kalau begitu, simpan uangnya di kain bungkusan saja. Jangan di tempat seperti tadi. Satu lagi, pakaianmu terlalu terbuka, aku tidak suka melihat penampilanmu seperti itu. Pakaian yang tertutup, itu lebih baik untukmu."

"Pakaian seperti ini, memudahkan aku bergerak. Kalau kau tidak suka, aku tidak peduli." Harumi bertampang bosan. "Kau itu pelayanku, yang telah bersalah padaku. Jadi, diamlah dan jangan pernah menasehatiku. Aku tidak suka dinasehati."

Harumi kembali memasukkan bungkusan kain kecil yang berisikan uang ke kantong persegi panjang kulit kecil, di balik roknya. Kantong kulit itu terpasang di paha kanan Harumi. Dia tersenyum lagi pada Taiga. Taiga mendeliknya.

"Ternyata dia bermuka dua," batin Taiga kecewa.

"Apa kau bilang?" tanya Harumi bertampang sewot. Menatap wajah Taiga dari jarak cukup dekat.

"Ti-tidak ada apa-apa."

"Huh, awas saja jika kau kedapatan menjelek-jelekku!"

Harumi berjalan cepat. Taiga berlari mengejarnya yang sudah menjauh di ujung jalan. Banyak orang yang mondar-mandir di sekitar Taiga dan Harumi. Taiga berhasil mencapai Harumi. Refleks, dia memegang tangan Harumi, tetapi Harumi langsung mencubit pipinya.

"Jangan sentuh aku!" sanggah Harumi melototi Taiga.

"Ma-maaf. A-aku ingin memegang tanganmu agar kau tidak lepas dariku," sahut Taiga tergagap. Bertampang tanpa ekspresi.

"Aku tidak akan pernah pergi darimu."

"Itu yang kumau. Lalu, sekarang, kita pergi ke tempat kenalanku."

"Ya, tapi, jangan berbuat macam-macam lagi!"

"Iya, aku mengerti."

Taiga kelabakan. Ingin tersenyum, tetapi tidak bisa. Dia mengekori Harumi. Membiarkan Harumi berjalan duluan.

Orang-orang sempat memerhatikan saat Harumi memarahi Taiga, barusan itu. Mereka tertawa dan kembali melanjutkan perjalanan. Ada juga yang penasaran, tetap melihat Taiga dan Harumi yang sudah menjauh.

"Kau punya kenalan di sini, Taiga?" tanya Harumi menoleh ke arah Taiga.

"Ya. Namanya Koyomi Asuka. Dia punya adik perempuan yang bernama Koyomi Aiya. Lalu dia juga yang menolongku saat aku hampir pingsan karena tidak makan dan minum selama beberapa hari," jawab Taiga mengangguk, "aku berusaha keluar dari hutan itu dan terus mencarimu. Kau tiba-tiba pergi meninggalkan aku, Harumi. Kau tega sekali padaku."

"Aku memang tidak suka orang lain ikut bersamaku, karena akan menghambat perjalananku. Aku ingin tetap sendiri dan mengelilingi negeri ini untuk membasmi semua youkai."

"Kenapa kau bersikeras ingin memburu semua youkai itu?"

Taiga menyodorkan pertanyaan yang mengagetkan Harumi. Mata Harumi membulat sempurna. Mulutnya terbuka. Kemudian kesuraman menyelimuti wajahnya.

"Itu ... aku tidak mau menceritakannya sekarang." Harumi berhenti berjalan sejenak di antara kerumunan.

"Kenapa? Aku ini teman seperjalanan. Kita berhak saling percaya dan berbagi rahasia." Taiga berdiri di samping Harumi.

"Aku akan menceritakannya nanti. Oh ya, di mana tempat kenalanmu itu? Aku ingin tahu."

"Di sana."

"Ayo, kita pergi ke sana!"

Harumi tersenyum, mengangkat kakinya. Taiga membiarkannya pergi terlebih dahulu. Dia menukikkan alis, menampilkan ekspresi penasaran.

"Harumi, kau tampak sedih. Pasti ada sesuatu yang kau sembunyikan. Jika kau mau menceritakannya padaku, siapa tahu, aku bisa membantumu untuk bisa menghancurkan kesedihan itu," lirih Taiga. Dia melangkah mengikuti Harumi. Berusaha menyamakan langkahnya dengan Harumi agar menunjukkan arah jalan menuju rumah Asuka.

***

VoyageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang