3. Bukan dia

5 0 0
                                    

Sebelum mentari terbit, Taiga dan orang tuanya sudah berdiri di depan rumah. Mereka berpelukan erat, menangis kecuali Taiga.

"Cepatlah pergi sebelum orang-orang terbangun," kata Sachiko sesunggukan. Menjauh dari Taiga. "Orang-orang desa ini sangat menyayangimu. Jika kau pergi, tentu mereka melarangmu pergi."

"Ya, Ibu," sahut Taiga mengangguk tanpa senyuman.

"Ingat, hindari perang dan jangan ikut campur urusan orang lain. Tapi, jika kau bertemu dengan Youkai dan Ayakashi jahat, tebas saja mereka dengan pedang yang Ayah berikan ini," ungkap Ojota menunjuk pedang katana yang terpasang di pinggang Taiga.

"Kenapa aku harus menebas Youkai dan Ayakashi?"

"Kau akan menemukan jawabannya saat bertemu dia." Ojota tersenyum.

"Dia siapa, Ayah?"

"Pergilah sekarang! Jangan balik ke sini sebelum kau mendapatkan calon istri!" Ojota mendorong Taiga dengan paksa. Untung, Taiga tidak terjatuh karena bisa menyeimbangkan badannya.

"Apa-apaan itu, Ojo-kun? Jangan perlakukan Taiga seperti itu!" protes Sachiko berkacak pinggang.

"Maaf." Ojota tersenyum lagi.

Taiga memandang wajah orang tuanya lama sekali. Ekspresinya tetap sama, datar. Tidak ada perasaan sedih yang dirasakan. Hambar. Membuatnya cukup tertekan, hingga hati menuntunnya untuk mengangkat kaki.

"Sampai jumpa lagi, Ayah, Ibu!" seru Taiga berjalan menyusuri jalan setapak yang diapit perumahan penduduk. Dia melambaikan tangan.

"Sampai jumpa, anakku!" balas Sachiko dengan suara yang keras. Air matanya semakin mengalir deras seiring dirinya juga melambaikan tangan.

Ojota hanya diam saja, langsung masuk ke rumah. Tidak mau melihat kepergian Taiga, sebab sangat menyesakkan dadanya. Suara tangisannya tidak terdengar. Hanya getaran tubuhnya yang cukup kuat, mewakili perasaan sedihnya.

"Selamat jalan, nak. Kami berharap kau selalu selamat hingga tiba di desa ini lagi," lirih Ojota, memegang sisi pintu dengan perasaan yang sangat menyakitkan.

Taiga meneruskan perjalanan hingga tiba di luar desa. Kegelapan masih menyertainya karena dia pergi pada pukul empat pagi. Mendahului orang-orang desa yang biasanya bangun pada pukul lima pagi.

Di luar desa, Taiga menemukan sebuah jembatan kecil yang terbentang di atas sungai. Sungai yang sama di dekat rumahnya. Taiga sempat berhenti berjalan di tengah jembatan, sebab bisa melihat rumahnya dari sana.

"Ayah, Ibu, tunggulah aku. Aku akan segera pulang setelah menemukan calon istri dan menemukan dia yang Ayah maksudkan," bisik Taiga. Dia memejamkan mata sebentar. Berusaha menghibur diri sendiri dengan cara menghela napas beberapa kali.

Taiga melangkah lagi. Ditemani mantel, kimono, celana hakama, perbekalan, dan katana. Menjadi semangatnya untuk mencapai tujuannya.

Perlahan kegelapan menepi, menghilang saat diterpa cahaya matahari. Burung-burung telah keluar dari sarang, kini hinggap di batang pohon. Bernyanyi sukacita bersama rekan-rekannya. Menyambut suasana pagi yang sedikit mendung.

Musim semi telah berlangsung cukup lama. Sebentar lagi, musim panas akan datang. Taiga menyadari itu, saat udara mulai menghangat. Lebih hangat daripada sebelumnya.

Taiga berjalan di jalan setapak yang berselimut dedaunan kering dan rerumputan liar. Hutan yang cukup terbuka. Tidak ada satwa yang mengancam. Hening. Namun, angin bertiup cukup kencang.

"Sepertinya, hujan mau turun," ujar Taiga melihat ke langit.

Angkasa berselimut awan-awan Cumulonimbus. Sesekali terdengar suara petir yang menyambar di kejauhan. Mengagetkan siapa saja yang mendengarkan kemarahannya.

Taiga mengubah jalannya menjadi lari kencang. Berusaha mencari tempat berteduh. Tidak ingin kehujanan, karena jika kehujanan, dia bisa terserang demam tinggi.

Tiba-tiba, terdengar suara berisik dari atas pohon. Taiga mendengarnya, refleks melihat ke asal suara. Sekelebat bayangan hitam melompat ke arahnya. Mengagetkan dirinya.

Layangan pedang terdengar di gendang telinga Taiga. Di hadapan Taiga, sosok gadis berambut hitam berdiri. Gadis itu berhasil memotong tubuh seekor kelinci merah dengan pedangnya. Tubuh kelinci itu terbelah dua, memuncratkan darah segar ke segala arah. Hingga mengenai wajah dan tubuh gadis itu.

Sunyi. Taiga terpaku. Membelalakkan mata. Gadis itu menoleh ke arahnya. Wajah cantiknya telah ternodakan cairan merah.

"Hei, pergilah dari sini sebelum hujan turun. Karena banyak youkai yang bermunculan di hutan ini dan akan memangsamu saat hujan turun," tutur gadis itu dengan suaranya yang sangat familiar bagi Taiga.

"Su-suara ini?" tanya Taiga terbata-bata. Dia ingin meraih tangan gadis itu, tetapi tidak jadi karena gadis itu telah menghilang dari hadapannya.

Taiga tersentak, menoleh ke kanan-kiri. Tapi, tidak ada siapa-siapa. Lengang. Membuatnya penasaran dengan gadis itu, sebab mengingatkannya pada seseorang yang dikenalnya. Menuntunnya berlari untuk mencarinya.

Suara yang sama. Apakah dia adalah istriku yang hidup juga di dunia ini?

Taiga bahagia. Tapi, perasaan itu tidak dirasakannya. Ekspresi datar bagai boneka yang tertampil di mukanya. Hanya setengah hari perjalanan, dia sudah menemukan jantung kehidupannya yang lain.

"Ito!" teriak Taiga. Suaranya menggema di tempat itu. Kakinya tidak berhenti berlari melewati tumbuhan-tumbuhan liar. Kadang terjatuh, dan akhirnya terguling-guling saat menuruni tanah yang curam.

Jeritan Taiga memecahkan kesepian. Dia berhenti berguling di dekat sebuah gua. Gua yang terletak di kaki bukit kecil.

"Ternyata kau lagi," ucap suara yang dikenali Taiga.

Taiga refleks mendongak, menatap wajah orang yang berlutut di hadapannya. "Ito!"

"Ito?"

Gadis itu mengerutkan kening. Bertepatan Taiga memegang kedua tangannya. Taiga mengangguk dengan paras tanpa ekspresi.

"Namaku Kiyotoshi Harumi. Kau mungkin salah orang," kata Harumi berdiri, tetapi kedua tangannya tetap dipegang Taiga.

"Aku tidak mungkin salah orang. Kau Shinji Ito, istriku," tukas Taiga menggeleng.

"Hah? Istrimu? Kau pasti tidak waras! Lepaskan tanganku sekarang juga!"

Harumi terpaksa menendang muka Taiga. Dia terbebas dari jeratan Taiga. Berlari masuk ke gua. Taiga yang tersungkur lagi, mengeluh kesakitan pada wajahnya. Langsung bangkit dan mengejar Harumi.

"Ito!" panggil Taiga. Suaranya bergema di gua.

"Berhenti! Jangan panggil aku Ito! Aku bukan istrimu!" bentak Harumi melemparkan kunai ke arah Taiga.

Taiga membelalakkan mata. Gesit, langsung menyabet pedangnya. Melayangkan pedang diagonal ke atas, berhasil menangkis kunai milik Harumi. Kunai itu terpental dan mengenai dinding. Terjatuh ke lantai batu.

Mendadak hujan turun seiring ketegangan terjadi di antara Taiga dan Harumi. Dua remaja itu menunjukkan kuda-kuda bertarung. Ekspresi mereka serius sekali.

"Kunai? Kau ninja?" tanya Taiga melihat kunai yang tergeletak tak berdaya di dekat dinding batu.

"Ya. Aku putri kepala klan Kiyotoshi. Klan ninja yang tinggal di tanah Atsuto. Tapi, sesuatu hal terjadi, sehingga semua anggota klan habis dibantai, hanya aku yang tersisa sekarang," jawab Harumi dengan sorot mata meredup, "aku tidak suka dengan orang asing! Karena itu, pergilah dari tempatku ini!"

"Aku mau saja pergi, tetapi di luar, sedang hujan deras. Aku tidak bisa kehujanan."

"Kenapa kau tidak bisa kehujanan?"

"Itu kelemahanku. Aku bisa terserang demam tinggi yang disertai flu."

"Kau aneh. Tapi, setelah, hujan berhenti, kau harus pergi."

"Apa itu berarti aku boleh menumpang berteduh di sini?"

"Ya."

Harumi memalingkan mukanya. Dia menyarungkan pedang yang terpasang di pinggang belakangnya. Merengut. Kemudian berjalan mendekati api unggun kecil yang menyala di ujung gua. Di samping api unggun itu, ada pakaian penuh darah, terbaring lemas.

***

VoyageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang