4. Menerima sebagai teman perjalanan

6 0 0
                                    

Taiga melihat pakaian yang penuh darah itu. Dia menyarungkan pedang katana yang terpasang di pinggangnya. Berjalan mendekati Harumi.

"Itu pakaian siapa?" tanya Taiga menunjuk pakaian berlumuran darah itu. Duduk di samping Harumi.

"Itu pakaianku. Memangnya kenapa?" Harumi balik bertanya. Melirik Taiga dengan sorot sinis.

"Kau membawa pakaian cadangan?"

"Ya. Aku membelinya di kota."

"Oh."

"Berhentilah bertanya."

"Kenapa? Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Mana tahu saja kita berjodoh dan menjadi suami-istri sungguhan."

"Itu tidak akan terjadi!"

Harumi menempelkan sisi tajam bilah kunai ke leher Taiga. Sorot matanya menajam. Mukanya seakan terselimuti kekelaman. Membuat mata Taiga melebar.

"Ma-maaf, aku tidak bermaksud membuatmu marah, Harumi," ucap Taiga tergagap.

"Huh, kau memanggil nama belakangku seenaknya! Mana mungkin aku memaafkanmu begitu saja!" sanggah Harumi dengan intonasi tinggi.

"Kau memang berbeda dengan Ito. Ito, istriku, orangnya pemaaf dan tidak kasar sepertimu."

"Memangnya, istrimu itu kemana?"

"Dia ... sudah meninggal."

Giliran netra Harumi yang membulat sempurna. Dia menjauhkan kunai dari leher Taiga. Memerhatikan mimik wajah Taiga yang tidak berekspresi.

"Maaf, aku tidak tahu," ujar Harumi bermuka kusut, "pasti kau sedih sekali karena kehilangan istrimu itu, 'kan?"

"Ya. Aku sangat kehilangan. Bukan hanya dia, tetapi aku juga kehilangan anak perempuanku," tukas Taiga mengangguk.

"Kau juga punya anak?"

"Iya. Namanya Shinji Amora. Usianya baru lima tahun. Dia meninggal saat bersamaan istriku juga meninggal."

"Apa yang menyebabkan mereka meninggal?"

"Karena ... sakit."

Taiga menerawang jauh ke dunianya yang dulu. Dunia yang telah diserang oleh wabah penyakit. Penyakit yang menyerang pernapasan. Menyebabkan penderitanya merasa sesak napas, panas tinggi, dan kejang-kejang. Tidak ada yang bisa menemukan obat untuk membinasakan virus itu.

Harumi bermuka sedih. Dia memasukkan kunai ke kantong yang terpasang di pinggangnya. Menatap api unggun yang bergerak tidak beraturan karena diterpa angin dari luar gua.

"Aku tahu apa yang kau rasakan karena aku pernah kehilangan semua keluargaku. Rasanya memang sangat menyedihkan." Suara Harumi terdengar sendu. Cahaya di matanya meredup.

"Aku memang sedih, tetapi tidak merasakan sedih itu." Taiga bersuara datar.

"Apa maksudmu?"

"Kau tidak akan mempercayai apa yang aku alami sekarang. Aku ... kehilangan tiga perasaan. Cemas, bahagia, dan sedih. Selain perasaan-perasaan itu, aku bisa merasakannya."

"Aku tidak mengerti."

"Suatu hari, aku akan menceritakan semuanya padamu."

"Suatu hari? Apa itu berarti, kau akan terus mengikutiku?"

"Ya. Aku boleh ikut denganmu, 'kan?"

"Tidak boleh!"

Harumi melototi Taiga. Wajah mereka cukup berdekatan. Membuat Harumi terperanjat, lantas berdiri. Membuang muka, menyembunyikan kedua pipinya yang memerah.

VoyageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang