ITSM 22

690 103 5
                                    

"Injun, setidaknya pikirkan dengan baik."

Renjun mengerang frustrasi. Buku yang tengah dibereskan olehnya, diremat pelan saat sedari tadi pagi, Jaemin terus saja merecokinya, menyuruhnya untuk memikirkan kembali keputusan yang sudah diambil, padahal sebelum dirinya mengatakannya pada Jaemin hari ini, ia sudah memikirkannya ribuan kali, dengan beberapa resiko atau pertimbangan yang mungkin akan terjadi.

"Minta izin dulu pada Kun Ge, Injun," Jaemin masih tak hentinya berujar, mencoba menarik perhatian si bungsu Qian agar mau merespon ucapannya.

"Aku sudah!" Renjun menjawab, dengan nada jengkel yang begitu kentara. "Kun Ge memberiku izin, dan kau tidak bisa merubah keputusanku, Jaemin!"

Emosi yang sedari tadi ditahannya, kini meluap. Renjun itu tidak suka dikekang oleh siapa pun — kecuali Kun — dan Na Jaemin yang notabenenya hanya temannya itu malah merecokinya, menghasutnya agar berubah pikiran, tentu saja Renjun kesal karenanya.

Dibentak seperti itu, Jaemin terlihat tidak terpengaruh sedikit pun. Dulu, jauh sebelum hubungan keduanya membaik seperti sekarang ini, Jaemin sudah sering mendapatkannya dari Qian Renjun. Bentakan yang anak itu lakukan tidak membuatnya marah atau tersinggung sama sekali. Jaemin paham Qian Renjun. Paham jika sahabatnya itu orang yang temperamental.

"Injun—

"Cukup diam dan biarkan aku melakukan tugasku, Jaemin!" Renjun memotong, sedikit mendesis saat tahu jika dirinya sudah benar-benar meledak hanya karena orang di depannya ini. "Aku tidak memintamu untuk membantuku, jadi diam dan biarkan aku yang melakukan semuanya! Kau tidak perlu ikut campur! Aku yang akan bertanggung jawab dengan ini semua!"

Lama terdiam, Jaemin bungkam untuk beberapa saat sampai Renjun telah selesai mengemasi barang-barangnya. Tanpa berkata apa pun lagi, si bungsu Qian menggendong tasnya, berjalan dengan sedikit tergesa untuk pulang. Namun, belum sampai anak itu di pintu kelas, suara lirih Jaemin lebih dulu terdengar, hingga pemuda pendek tersebut menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menatap anak itu.

"Mereka orang jahat, Injun," Jaemin menunduk, mencengkeram kuat jas sekolah yang digunakannya. "Mereka yang membuat Renjun-ku terluka."

Sebelah alis Renjun terangkat. Ia menatap lekat teman sebangkunya itu, "Lalu?"

Kepala Jaemin terdongak, menatap netra Renjun dengan sedih, "Mereka pantas menderita, Injun. Mereka yang telah menyia-nyiakan Renjun-ku pantas menderita."

Bukannya marah atau kesal dengan penuturan Jaemin barusan, Renjun malah tersenyum tipis. Didekatinya Jaemin dengan tepukan di pundak. "Dengar, Jaemin. Jika kau tidak ingin aku menemui mereka hanya agar mereka menderita, lalu apa bedanya kau dengan mereka?"

Jaemin tidak menjawab.

"Mereka membuat Renjun menderita, dan setelah Renjun tiada, barulah mereka menyesal jika Huang Renjun sangatlah berharga untuk disia-siakan dan sekarang kau mengambil kesempatan itu untuk membalas dendam? Membuat keluarga Renjun menderita dengan perasaan bersalah?" Qian Renjun menggeleng pelan. "Kau lebih mengenal Huang Renjun lebih dari pada aku, Jaemin. Coba tanya pada dirimu sendiri, apa Renjun akan suka jika sahabatnya melakukan perbuatan jahat? Apa Renjun akan suka jika kau membuat keluarganya kesusahan?"

Masih sama, tidak ada jawaban yang Jaemin keluarkan, hingga Renjun kembali melanjutkan ucapannya.

"Aku bukan orang baik, Jaemin. Jika berada di posisimu, mungkin aku juga tidak akan setuju dengan hal ini. Tapi, untuk kali ini saja, biarkan aku melakukannya agar tugasku selesai. Agar pundakku menjadi ringan tanpa beban apa pun lagi."

Karena masih tidak mendapat respon dari Jaemin, Renjun akhirnya mengangguk pelan. Untuk yang terakhir kalinya, laki-laki mungil itu menepuk pundak sahabatnya sebelum benar-benar berlalu meninggalkan Jaemin sendirian di dalam kelas.

Injun's Three Secret Missions✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang