ITSM 5

895 145 7
                                    

"Injun, bangun. Kau ingin terlambat di hari pertamamu sekolah?"

Kun menyingkap selimut yang menutupi tubuh adiknya, lantas berjalan untuk membuka gorden dan jendela.

Lenguhan pelan terdengar dari mulut Renjun. Sebelum benar-benar bangun, anak itu mengusap matanya lalu terduduk dengan lemas untuk mengumpulkan kesadarannya.

"Ge, nanti tolong buatkan bekal untukku," pintanya, masih belum merubah posisinya.

Kun yang sedang menyiapkan seragam sekola adiknya menoleh, menatap Renjun bingung. "untuk apa?"

"Tentu saja untuk makan!" kesalnya.

Bahkan, disaat kesadarannya yang belum sepenuhnya terkumpul, Renjun masih bisa marah-marah seperti itu.

"Eh?" kaget Kun. "Sudah besar, apa tidak malu membawa bekal?" tanyanya.

Jarang sekali anak laki-laki kelas 11 membawa bekal ke sekolah. Lagipula, ini sudah modern, bahkan anak-anak saja sudah tidak ada yang membawa bekal, tapi Renjun? Ah, Kun tidak mengerti pada cara berpikir anak itu.

"Memang kenapa jika sudah besar? Apa ada peraturan yang tidak mengizinkan orang yang sudah besar membawa bekal?" tanyanya.

"Bukan seperti itu, Injun. Apa kau tidak malu?"

Si bungsu manatap kakaknya tidak suka. "Malu untuk apa? Aku tidak peduli pada apa yang orang lain bicarakan. Ini hidupku, terserah diriku ingin melakukan apa," acuhnya.

Kadang, sifat cuek itu berguna juga. Tidak ada waktu untuk orang seperti mereka malu pada kehidupan yang sudah ditakdirkan, dan dengan sifat itu, Kun harap, Renjun tidak akan mendengarkan orang omongan buruk orang lain tentangnya.

***

"Nana, kenapa sayang?" jemari wanita cantik itu mengelus pelan wajah anak bungsunya.

Jaemin mengedikkan bahunya. Sarapan yang sudah di siapkan oleh sang ibu hanya di aduk-aduk tanpa ada selera untuk memakannya.

Jujur saja, sikap Jaemin yang seperti ini membuat keluarga kecil itu khawatir. Jaemin seperti tidak memiliki gairah untuk hidup.

"Nana, jangan seperti ini terus. Papa yakin jika Renjun juga tidak akan suka jika melihat mu seperti ini."

Saat nama itu di sebut, barulah kepalanya terangkat. Tatapan matanya begitu nanar, membuat mereka yang melihatnya ikut merasakan sedih.

"Lalu aku harus bagaimana, pa?" tanyanya, terdengar frustrasi.

Sang kepala keluarga menyimpan sumpit yang dipegangnya. Dipandangnya anak bungsunya dengan serius. "Kau harus bisa melanjutkan hidupmu."

"Andai itu mudah. Kalian yang mengatan itu hanya sekedar berkata tanpa tahu betapa sulitnya aku berusaha untuk keluar dari keadaan ini."

Setelah mengatakannya, Jaemin mengambil tas yang sebelumnya ia letakkan di bawah kursi lalu melenggang ke luar begitu saja.


***

Entah ini hanya perasaan Renjun saja atau memang benar. Tapi semenjak dirinya melangkah memasuki gedung sekolah, semua tatapan seakan tertuju padanya. Kadang, netranya menatap siswa yang sepertinya ketakutan kala melihatnya. Ada juga yang menatapnya dengan terkejut. Tidak sampai di situ, saat dirinya memasuki ruang guru pun, semua guru menatapnya dengan aneh.

Injun's Three Secret Missions✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang