ITSM 24

760 106 4
                                    

Kakinya melangkah dengan pelan. Kepalanya tertunduk dalam. Kedua tangannya mencengkeram tali tas yang dipakainya. Qian Renjun menyembunyikan wajah bengkaknya akibat menangis semalaman. Seharusnya, ia mengikuti saran sang kakak untuk membolos sekolah hari ini, tapi entah mengapa dirinya malah memaksa untuk masuk, dan sekarang ia menyesali keputusannya.

Di tengah rasa menyesal karena masuk sekolah dengan keadaan yang bisa dibilang tidak baik-baik saja, Renjun mengulas senyum tipis. Jika di ingat-ingat, hal yang kemarin dilakukannya adalah hal bodoh yang sebelumnya tidak pernah terbayang akan dilakukan. Namun, Renjun kembali pada keputusan awalnya. Ia tidak ingin mengalami penyesalan yang sama seperti yang dialami keluarga Huang Renjun.

Bukan bermaksud mendoakan yang tidak baik, tapi Renjun hanya takut jika ada suatu keadaan dimana ia tidak bisa bertemu ibunya lagi. Bukankah umur seseorang tidak ada yang tahu?

Kemarin, setelah mendengar gumaman adiknya yang terdengar putus asa, Kun tanpa berfikir panjang, langsung mengambil ponsel untuk menghubungi sang ibu yang berada di China sana. Awalnya memang sedikit canggung, karena jujur saja, Renjun sudah lama tidak bertegur sama dengan ibunya meski hanya melalui telpon, dan kemarin, setelah sekian lama, ia melakukannya kembali. Huang Renjun dengan nada bicaranya yang terdengar kaku, memutuskan untuk berdamai dengan sang ibu.

Renjun kian meremat tali tasnya saat bayang-bayang kemarin sore terlintas di pikirannya. Sedari kecil, ia membenci ibunya karena adanya alasan yang kuat. Beliau yang seharusnya mengurus kedua putranya yang baru saja ditinggal pergi oleh sang ayah, malah angkat tangan, hal itu tentu saja membuat Renjun marah hingga berakhir membenci beliau yang sudah melahirkannya. Tapi sekarang, setelah rasa bencinya mengudara selama bertahun-tahun lamanya, Renjun memutuskan untuk memaafkan kesalahan beliau. Walau bagaimana pun, beliau pernah menjadi salah satu orang yang disayangi.

Renjun masih ingat betul, ditelinganya, masih terngiang-ngiang suara tangis haru ibunya saat ia memanggil beliau dengan sebutan mama — satu kata yang jarang terdengar dari mulutnya setelah sang ayah meninggal.

Bibir itu kian terangkat ke atas, jika dipikir ulang, Renjun tidak menyesal melakukan semua hal itu. Hatinya menghangat, juga pikiran yang mulai tenang tanpa dihantui rasa bersalah pada ibu yang selama ini didiami olehnya.

Suara yang sudah dikenalinya terdengar, Renjun mengangkat sedikit kepalanya. Netranya bertemu pandang dengan beberapa orang di depannya.

Di ujung koridoor sekolah, Jaemin dan teman-temannya tengah berjalan santai, dengan canda tawa yang mengiringi langkah mereka. Semuanya tampak bahagia, membuat Renjun ikut tersenyum melihatnya.

Renjun hanya diam kala langkah mereka semakin dekat padanya.

"Ingin ikut?" Jaemin bertanya, menyebabkan kerutan kecil di dahinya muncul.

"Kemana?"

"Ruangan Jaehyun Hyung sebentar."

Lantas, Qian Renjun menggelengkan kepalanya. "Kalian saja," jawabnya.

Jaemin mengangguk paham. Baru satu langkah maju, tapi ucapan Haechan berhasil membuatnya membatu seketika.

"Renjun, maaf atas perlakuan tidak menyenangkan kami padamu."

Bukan hanya Haechan, tapi Mark, Lucas dan Jeno pun menunduk dalam, seakan benar-benar merasa bersalah atas apa yang terjadi selama ini diantara mereka.

Ingin rasanya Renjun tertawa terbahak melihat pemandangan di depannya ini. Well, siapa yang dulu dengan sombongnya menagatkan jika dia hanya murid dari kalangan bawah yang tidak pantas berteman dengan mereka? Tapi lihat sekarang, mereka sendiri yang menundukkan kepala untuk meminta maaf pada siswa kalangan bawah sepertinya.

Tapi, karena menghargai keberanian mereka yang dengan relanya meminta maaf, Renjun hanya mengangguk kecil, tak lupa memberikan tepukan pelan di pundak laki-laki dengan nama Lee Donghyuck tersebut.

"Lupakan saja. Aku juga ingin meminta maaf pada kalian semua atas kesalahan yang aku perbuat."

Di tempatnya, Jaemin tampak memelototkan mata tidak percaya. Dari tatapan, Renjun bisa mengartikan jika si bungsu Na tengah melakukan protes padanya. Jaemin seakan tidak setuju jika ia mengatakan jika dirinya juga bersalah. Di mata Jaemin, sudah jelas jika Haechan dan yang lainnya lah yang bersalah sebab menghina Renjun dengan mudahnya. Tapi, Qian Renjun hanya menggeleng kecil, mengisyaratkan Jaemin untuk tidak melakukan protes dalam bentuk apa pun.

Berbeda dengan Jaemin yang tampak keberatan, keempat orang di depannya mengangkat kepala cepat. Matanya membulat saat klaimat tidak terduga Qian Renjun meluncur begitu saja dari mulutnya. Namun, melupakan rasa terkejutnya, mereka kompak memasang senyum, tidak lupa membungkuk dan mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati Qian Renjun yang bersedia memaafkan mereka semua.

"Aku akan segera kembali."

Bisikan Jaemin itu membuatnya melengkungkan bibir ke atas. Beberapa detik setelahnya, Qian Renjun memutar tubuhnya, melihat kelima sahabat yang berjalan menjauh darinya dengan tawa yang menggema.

Tanpa di sadari, air matanya jatuh. Sudah bukan? Ketiga permintaan Huang Renjun sudah dilakukan olehnya. Jaemin sudah bisa tertawa yang seakan mengatakan jika pemuda Na tersebut sudah bisa keluar dari keterpurukannya. Jaemin juga sudah berbaikan dengan para sahabatnya dan yang terpenting, Jaemin sudah bahagia, mungkin, siapa yang tahu? Tapi Qian Renjun berharap jika laki-laki itu benar-benar bahagia dengan kehidupan yang kini dijalaninya.

***

Angin berhembus cukup kencang, membuat Renjun mengeratkan baju hangat yang dipakainya. Bahkan lapisan baju yang dipakainya sekarang pun masih belum mampu menghalau rasa dingin yang dirasakan tubuhnya. Beruntung, Kun mengingatkannya untuk membawa baju hangat, jika tidak, mungkin Renjun sudah mati kedinginan sekarang.

Baru satu langkah keluar dari pelataran sekolah, Renjun dikagetkan dengan kehadiran tiga pemuda yang tempo lalu ditemuinya di dekat rumah Huang Renjun.

"Renjun!"

Tubuh kecilnya berjengkit ke belakang, dengan napas memburu karena rasa terkejutnya. Pemuda Qian tersebut menghembuskan napas kasar, lantas menatap tiga orang di depannya. "Oh kalian. Ada apa?"

Salah satu pemuda dengan alis tebalnya maju satu langkah. "Ada yang ingin kami bicarakan."

"Sebelum kalian berekspektasi tinggi, aku hanya ingin mengingatkan," anak itu menggantung kalimatnya. Ditatapnya lekat ketiga orang di depannya, lantas, untuk yang kedua kalinya, hembusan napas kkasar dikeluarkan olehnya. "Aku Qian Renjun, bukan Huang Renjun."

Bisa Renjun lihat jika ketiga orang itu memasang ekspresi yang berbeda dari sebelumnya. Jika ekspresi yang ditampilkan sebelumnya adalah raut gugup, maka sekarang raut itu berubah menjadi sedih.

"Beda orang, kan?" Renjun bertanya. "Jadi, lebih baik aku pergi."

Namun, sebelum Renjun melangkah, tangannya sudah ditahan terlebih dahulu. Renjun menoleh, menaikan sebelah alisnya.

"Jangan pergi."



***

Injun's Three Secret Missions✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang