Dewa
Dari kecil saya hidup di tengah keluarga yang bisa dibilang harmonis. Bapak sama ibu gak pernah berantem hebat sampai saling bentak ataupun melempar barang. Paling parah mereka ribut diam-diaman sehari semalam tapi besoknya udah normal seperti gak terjadi apa-apa. Saya juga gak pernah punya teman yang mengalami masalah rumit dalam keluarga atau saya yang kurang peduli sama sekitar saya, saya sendiri kurang paham.
Namun, saat saya dengar cerita Sean tadi saya seolah terpukul sendiri dengan berbagai macam dugaan. Saya akui saya dan Naras untuk saat ini memang belum bisa menjadi selayaknya pasangan normal seperti biasa. Tapi saya gak habis pikir kalau bocah itu bahkan berpikir sejauh itu setelah sadar apa yang terjadi antara saya dan Naras.
Trauma, itu yang bisa saya tangkap sehingga Sean bjsa berspekulasi seperti itu. Tapi saya juga sama sekali gak bisa menganggap pernyataannya salah. Sean dan Jean tumbuh ditengah orangtua yang keras jadi wajar kalau mereka beranggapan kemungkinan rumah tangga saya dan Naras nanti akan mengalami hal yang sama. Sejak saat itu saya mulai berpikir apakah keputusan saya salah untuk terburu-buru berniat untuk menikah dengan Naras hanya karena luka saya yang disebabkan olehnya yang bahkan sampai sekarang belum tertutup penuh.
Tapi saya juga gak mau akhir dari saya dan Naras seperti yang orangtua Sean dan Jean alami. Sama sekali enggak.
Untuk itu saya harus nurunin ego saya. Walau gak menutup kemungkinan kalau saya juga masih berharap luka itu aka segera sembuh.
"Mas, dua minggu dari sekarang. Itu bukan waktu yang lama, terbilang cepat."
Ujar Naras saat saya dan dia saat ini benar-benar hanya berdua di kursi yang berhadapan dan Sean sudah masuk kembali ke dalam. Ini waktu yanh tepat untuk menentukam macam depan seperti apa yang akan saya ambil.
Saya mencondongkan badan kemudia menarik tangan nya yang dia mainkan entah karena apa. Kelihatannya Naras terkejut dengan apa yang saya lakukan, terlihat dari caranya melihat saya sekarang.
"Ras. Kita gak tahu apa yang ada di masa depan nanti, entah akan berjalan baik atau berjalan melalu banyak lubang dan batu saya gak tahu. Tapi yang jelas, saya gak main-main setuju sama pernikahan ini. Ras, bantu saya...."
Naras gak menjawab langsung dan masih menatao saya bingung. Lagipula kalau misal saya ada di posisinya saat ini saya juga pasti bingung. "Bantu apa?"
"Bantu saya untuk kembali memiliki rasa yang sama seperti beberapa tahun lalu. Tolong buktiin ke saya kalau kamu adalah pilihan yang tepat. Tolong.... Saya gak mau menyakiti siapapun, baik itu ibu, orangtua kamu atau kamu sendiri dengan saya yangw berubah pikiran di tengah jalan nanti karena terlalu banyak perrimbangan baru yang bersliweran di kepala saya."
**
Sebenarnya tidur di matras tipis bukan hal baru lagi untuk saya karena dulu waktu kecil keluarga saya belum semampu sekarang untuk punya ranjang yang lebih layak. Namun, orang ini selalu buat saya susah tidur kalau malam. Sean.
Dia selalu gak bisa diam kalau mau tidur, seolah gak biasa dengan keadaan saat ini. Mungkin juga karena sebelumnya dia dari keluarga yang berada –saya dengar dia nyebut orangtuanya papi sama mami– maka dari itu dia mungkin yang biasanya tidur di kasur empuk gak biasa ridur di matras tipis seperti ini. Tapi, anehnya malam ini dia gak banyak tingkah dan langsung bisa memejamkan matanya dengan tenang.
"Saya gak tau kamu udah tidur atau belum, tapi saya harap kamu denger ini. Perceraian itu gak selalu berakhir buruk, bahkan terkadang dengan perceraian ada yang lebih bahagia. Saya gak akan bahas tentang orangtua kamu tapi dari cerita kamu saya bisa ambil bahwa mereka cerai karena sama-sama udah gak bisa jalan bareng lagi dan mungkin keputusan mereka itu juga untuk kalian supaya gak lebih menderita lagi hidup di tengah orangtua dengan konflik."
"Kalau saya ada di posisi kalian juga saya gak akan terima, anak manapun gak terima kalau orangtuanya pisah. Tapi kembali lagi, coba kalian bicara baik-baik tentang alasan mereka milih untuk pisah dan pertimbangin lagi." Saya sekarang udah kayak orang gila karena ngomong sendiri. Tapi, keliatannya anak ini denger sama omongn saya karena dibalik punggungnya saya hisa lihat dia ngehela napas berat berkali-kali.
Perpisahan memang berat terlebih untuk anak remaja yang sekarang benar-benar butuh karakter orangtua untuk menemukan jati diri mereka, untuk mengontrol rasa ingin tahu mereka kadang yang berlebihan dan pergaulan mereka. Namun, Jean dan Sean beda. Mereka berdua dari kecil hidup di tengah orangtua yang punya konglik masing-masing sampai dikatakan gak bisa akur sama anak mereka sendiri. Di mata saya sebenarnya mereka anak baik, mereka masih cukup beruntung punya satu sama lain sebagai penopang saya gak bisa bayangin keadaan anak-anak yang hanya punya diri sendiri sebagai sandaran.
Saya sama Naras kalau lagi berdua sering ngomongin mereka, ngomongin gimana caranya mereka mau balik ke rumah mereka tanpa rasa keberatan dan selesaiin masalah mereka tanpa ditunda lagi. Walau udah banyak ide yang tertuang tetap aja rasanya masih sulit untuk bicarain langsung.
"Mas dari kapan kerja di sana?" Tanya Jean saat dia lihat saya udah rapih dan mau berangkat ke kantor redaksi.
"Sekitar lima tahunan, dari lulus kuliah."
"Oohh... Papi saya juga dulu reporter, tapi sekarang udah jadi pembaca berita di stasium TV terus katanya papi mau pensiun aja jadi pembaca berita dan mai ngehabisin waktu di rumah lamanya di Jogja. Mami juga dokter kayak mbak Naras, tapi mami jarang pulang tepat waktu. Nanti mas kalau udah nikah sama mbak Naras jangan sampai gak punya waktu berdua yaa... Awas aja." Ah pembaca berita, pasti kaya makanya mereka tampilannya kayak anak orang kaya. Entah kebetulan atau bagaimana tapi beberapa orang bilang wajah Sean itu mirip saya dan sekarang saya tahu bahwa profesi orangtua mereka juga kebwtulannya sama seperti profesi saya dan Naras. Kebetulan doang kayaknya.
"Yaa, yaudah saya berangkat kalian berdua jaga rumah kalau mau makan uangnya saya udah taruh di lemari piring kalau mau keluar jangan lupa kunci pintu paham?" Dia mengangguk lalu membiarkan saya keluar dari rumah.
*
"Halo kenapa Ras?"
"Mas kirim bunga ke rumah sakit buat saya?"
"Bunga?" Kok aneh?
"Iyaa, ini Sean bawa ke sini sendiri bilang mas yang suruh."
Ah ulah mereka berdua ternyata. Saya gak kaget tapi kadang ini berlebihan sebelumnya mereka ngasih makanan ke Naras atas nama saya beberapa kali dan sekarang bunga.
"Oh iya mbak, tadi si mas bilang ngajakin makan siang di rumah makan deket kampus." Ini suara si Jean. Mereka berdua sebenarnya punya rencana apa si? "Seriusan mas?"
Tapi ini kesempatan bagus untuk hubungan saya sama Naras sebenarnya. "I-iya, Ras. Datang aja, saua kesana sepuluh menitan lagi. Kantor saya sama rumah makan deket kok. Oh iya, mereka berdua kalau mau ikut surug pulang aja." Resek soalnya.
"Kalian disiruh pulang masa,"
"Hah?! Kok gitu?!" Kompak banget kalau ngelawan saya.
"Ini urusan orang dewasa, anak kecil gak boleh nimbrung." Ujar saya yang setelah itu nutup ponsel. Saya harus cepet selesaiin artikel ini sebelum keluar.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind of Future ✔
Fiction généraleSetiap manusia pasti memiliki penyesalan dalam hidupnya dan tidak jarang ingin kembali ke masa lalu walau hanya bisa beberapa menit saja. Manusia dilahirkan dengan memiliki ketidaksempurnaan karena di dunia ini yang sempurna hanya satu, yaitu tuhan...