Sean
Ayo Sean pakai otak pinter lo buat bertahan hidup di tempat ini...
Apa yang harus gue perbuat biar papi sama mami muda bisa percaya sama alasan konyol gue dan Jean? Alasan apa yang gak masuk akal tapi masuk akal? Seenggaknya kita berdua harus tinggal dengan salah satu dari mereka. Kalau enggak mau tinggal dimana? Caranya balik ke masa gue sendiri aja gue gak tahu.
Alasan... Ayo hinggap di otak gue, please!
"Bilang kalau kita kabur dari rumah, terus lupa jalan pulang." Ujar Jeanna, gue melihat kearahnya yang juga sedang serius berpikir bagaimana caranya bertahan hidup.
"Papi lo akalnya gak ketebak, Je. Mami juga tapi seenggaknya mami kemungkinan masih punya belas kasih dan mungkin biarin kita, tapi akar permasalahanya ada di papi. Papi muda pasti bakal berpikir untuk nyerahin kita ke polisi dengan laporan orang hilang, ayo yang lebih meyakinkan lagi." Jelas gue, emang dari awal akar permasalahn kita berdua gak bisa berdalih ada di laki-laki tinggi semampai yang tiga tahun dari tahun ini akan menjadi papi gue dan Jean secara seutuhnya. Papi di sini seolah terlalu dingin dan keras untuk ditempa, berbeda dengan papi gue karena dia meskipun pendiam dia mudah luluh sama anak-anaknya dan punya aura yang hangat gak gelap kayak sekarang.
Gue dan Jean kembali memikirkan cara namun hasilnya pasti merujuk ke alasan yang Jeanna buat barusan, berarti memang harus diberi sedikit bumbu lagi agar setidaknya papi bisa percaya walaupun sedikit. Dokter bilang besok kami udah boleh keluar dari rjmah sakit yang artinya, baik gue maupun Jean hanya punya waktu beberapa jam sebelum malam untuk memikirkan hal ini.
"Gimana kalau gini Je, kita pakai alasan lo dengan tambahan..." Gue menjelaskan panjang lebar apa yang menjadi ide gue tersebut kepada Jean dan setelahnya Jean langsung menangguk tanda dia setuju dengan saran gue.
Gue kembali ke kamar rawat gue ditemani dengan papi versi muda yang gue panggil dengan sebutan 'mas' sumpah, aneh banget di lidah. "Besok kamu sama kembaran kamu boleh pulang, mau saya anterin kemana?" Tanyanya kaku.
Gue belum siap jawab sekarang, oke pura-pura ngantuk. Lagi juga ini udah sore kan? Yap, pura-pura ngantuk.
"Maaf banget, tapi gatau kenapa saya tiba-tiba ngantuk berat. Saya izin tidur boleh?" Ujar gue, seketika gue langsung merinding ketika melihat raut wajah papi yang menyuratkan kecurigaan. Udah gua bilang kan? Akalnya papi versi muda tuh gak ketebak, entah apa yang lagi dia pikirin tentang gue sekarang. Gue bener-bener gak bisa nebak.
"Kalian berdua bukan buronan polisi kan?"
What?!
Yaampun.
"Muka kita keliatannya kayak buronan atau bukan?" Tanya gue berusaha se santai mungkin ealau dalam hati sudah ingin mengumpat, tapi gue ingat kalau laki-laki berekspresi datar ini ayah kandung gue sendiri. Kayaknya.
Siapapun gak akan percaya kalau dia papi gue sama Jean lah diliat dari sikapnya uang terlalu dingin kayak gini, sedangkan baik gue sama Jean sama sekali gak menuruni sifat itu kecuali sisi cueknya yang terkadang datang.
"Dari wajah kalian sama sekali gak mencurigakan, tapi dari tingkah kalian yang selalu menampik setiap saya bahas soal tempat tinggal ataupun orangtua. Itu terlalu mencurigakan." Papi sadar, ya siapapun juga akan sadar tentang kejanggalan yang cukup mencolok ini. Siapapun.
Ya gimana mau jawab, rumah gue di Jakarta sana aja gue gak tahu udah ada atau belum apalagi ditanya siapa orangtua kita berdua. Masa iya, tiba-tiba gak ada angin gak ada hujan gue sama Jean bilang mereka orangtua kita. Apa setelahnya gue gak langsung di mutasi dari rumah sakit ini ke rumah sakit jiwa karena gangguan halusinasi.
Gue menarik napas panjang lalu melihat ke arah papi yang masih fokus memandang gue dengan penuh kecurigaan, "Saya ingatkan sekali lagi, kami bukan penjahat. Untuk rumah dan orangtua kami, kami perlu waktu untuk berpikir karena ada masalah internal yang menuebabkan saya dan Jeanna ada di kota ini dan di rumah sakit ini. Saya minta tolong, besok pagi kalau saya dan kembaran saya sudah memutuskan pasti saya ceritakan ke mas dan mba, saya janji." Ujar gue panjang lebar, awalnya gue pikir papi akan kembali bertanya dengan lertanyaan menjebak. Namun, papi malah mengangguk dan berpamitan untuk pulang.
"Saya gak tahu masalah internal apa yang kalian berdua alami dan saya gak akan ikut campur juga, tapi tolong jangan lari dari masalah karena kedepannya yang akan kalian dapatkan cuma penyesalan. Saya permisi," Papi keluar dari ruangan gue, ini udah sore juga. Kabur dari masalah ya? Papi sering kayak gitu dan berujung sekarang, masalah rumah tangga mami sama papi gak menemukan titik akhir. Ironi.
Gue meletakkan kepala di atas bantal dan melihat ke langit-langit ruangan. Tiba-tiba sekelebat ingatan masa lalu hinggap di otak gue. Ingatan tentang gimana terakhir kali gue, Jean, mami sama papi liburan ber empat.
Waktu itu mereka berdua juga dalam keadaan yang gak baik-baik aja dan itu adalah usaha terakhir yang pernah gue dan Jean bisa lakukan untuk mendamaikan kedua orang tua kami. Dua hari sebelumnya mereka ribut besar yang kembali gak gue tahu apa yang mereka ributin. Gue bilang ke Jean kalau usaha yang ini gak berhasil berarti emang mereka udah gak bisa berdamai seperti apa yang kita berdua bayangkan. Alhasil satu minggu setelah liburan mereka balik beramtem lagi bahkan dengan intensitas yang lebih besar sampai mami ngurung diri di kamar dua hari dua malam dan papi kembali pergi dari rumah. Sering kali gue berpikir begini,
'Mereka sebenarnya sayang gak si sama kita berdua? Kenapa gue sama Jean gak diserahin ke eyang aja, seenggaknya di rumah eyang kita berdua gak akan ngelihat hal kayak gini. Mereka tahu gak si sebenernya itu bisa ngerusak mental anak-anak mereka?'
Tapi setiap gue pikir lagi mami sama papi tetap bersikap normal saat bersama gue dan Jean. Normal yang gue maksud bukan mereka yang akan terlihat seperti pasangan, melainkan mereka terlihat seperti orang tua yang sangat sayang anak-anak mereka walau gak saling bicara satu sama lain.
Pasti orang-orang yang tahu bagaimana cara komunikasi mereka di rumah akan memiliki pertanyaan tentang 'apa gue atau Jean pernah jadi pelampiasan amarah mereka berdua?' di kepalanya. Maka, jawaban yang akan gue berikan adalah pernah. Se baik apapun mereka sama anak-anaknya pasti mereka pernah ngelampiasin amarah mereka sama kita berdua. Paling gue ingat adalah kejadian saat gue dan Jean berumur 10 tahun. Mulai saat itu gue benar-benar takut buat papi marah karena emang se menyeramkan itu sampai membekas di kepala gue semua perkataan dan ekspresi yang dia berikan.
Ah, capek gue mikirin ginian. Mendingan tidur, siapa tahu besok bangun-bangun udah pagi. Ya ga?
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind of Future ✔
Fiksi UmumSetiap manusia pasti memiliki penyesalan dalam hidupnya dan tidak jarang ingin kembali ke masa lalu walau hanya bisa beberapa menit saja. Manusia dilahirkan dengan memiliki ketidaksempurnaan karena di dunia ini yang sempurna hanya satu, yaitu tuhan...