Jean
"Dua kali, Ras. Dua kali kamu ngelakuin hal yang sama,"
"Tapi, mas. Ini udah 12 tahun, kamu gak–"
"Kamu pikir aku gak pernah nyoba untuk berdamai sama kamu? Kamu pikir aku gak pernah ngerasa bersalah? Aku selalu ngerasa bersalah terlebih kalau lihat Jean sama Sean, sifat mu gak pernah berubah dan gak pernah mencoba untuk merubahnya."
"Sifat apa si?!! Kamu yang selalu nyalahin aku atas berbagai kesalahan, seolah semua sifatku itu gak pernah benar di matamu!!! Apa dugaan aku selama ini bener soal perasaan kamu ke orang la–"
"Aku pergi, tenangin diri kamu dan aku juga bakal ten–"
"Alasan! Kamu selalu kabur setiap aku bahas soal ini! Jujur mas!!!"
"Mau tau alasan aku selalu pergi? Aku gak mau meledak di rumah sampai bikin anak-anak sakit lebih dari ini, mereka udah cukup muak liat perdebatan orangtua yang gak ada habisnya ini dan akan semakin muak bahkan depresi kalau sampai aku bikin kamu sakit secara fisik."
Pertengkaran mami papi dua tahun yang lalu kembali terputar di otak gue, pertengkaran yang buat papi gak pulang sampai beberapa bulan dan mami gak pernah peduli soal itu. Gue bisa liat Sean yang saat itu di samping gue rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Mereka sadar kalau mereka nyakitin kita berdua, tapi kenapa mereka gak pernah mau ngalah satu sama lain dan terus adu opini sampai salah satunya gugur baru mereka diam. Bener kata papi, kita muak. Dan mereka seolah gak pernah muak untuk terus adu otot.
Kepala gue sakit, tiba-tiba semua penglihatan gue berubah jadi hitam karena sakit yang cukup hebat ini. Gue coba untuk angkat tangan ke kepala, tapi hasilnya nihil seolah tangan dan otak gue lagi gak bisa berkomunikasi sekarang alhasil gue cuma bisa buat sedikit gerakan.
Suara beberapa orang terdengar di sekitar gue, untuk pertama kalinya gue coba untuk buka mata dan hal pertama yang gue lihat adalah ada beberapa orang di sekitar gue dan semua tampak kabur.
"Dok, dia bangun atau itu cuma gerakan bawah sadar?"
Suara rendah, sedikit serak yang sangat gue kenali itu terasa sangat dekat di telinga gue. Gue masih nyoba untuk memfokuskan pandangan tapi sialnya mata gue seolah gak mau diajak kompromi sampai penglihatan gue masih tetap buram sampai sekarang.
"Dia siuman,"
"Rumah sakit?" Gumam gue yang langsung mendapatkan kata 'iya' sebagai jawaban. Bau rumah sakit adalah bau yang oaling gue gak suka karena bau obat dan segala macam bahan-bahan kimia ada di sini yang kadang bikin gue merasa makin pusing.
"Nama kamu siapa?"
"Jean," Kayaknya sekarang gue tahu alasan Bang Deon males ngeluarin suara kenapa, capek. Gue kembali pejamin mata karena benar-benar berat untuk buka mata sekaligus sakit kepala gue gak main-main.
"Kepala kamu bocor, jadi wajar kalau terasa sakit. Nanti kalau sakitnya berlebihan tolong panggil kami, mas nya tunggu sini aja ya."
"Iya, makasih dokter." Ujar si laki-laki dengan suara gak asing itu. Gue penasaran sama siapa yang jagain gue saat ini, tapi mata gue terlalu berat untuk dibuka sekarang.
Kepala gue bocor? Berarti kecelakaan kemarin bukan mimpi. Sean?
"Se-an?"
Gumam gue pelan dan berharap orang di dekat gue ini dengar, "Sean ada di ruangan lain, saya gak tau dia udah siuman atau belum. Kalau kamu mau saya lihat kondisi dia, kamu bilang ke saya apa kepala kamu masih sakit?"
"Jean masih pusing?"
Demi apapun dua suara itu benar-benar mirip, suara papi sama suara orang ini. Mereka benar-benar mirip, bedanya cuma ini terasa lebih dingin dan kaku sedangkan papi lebih hangat. Kayaknya gue se kangen itu sama kehadiran papi di rumah sampai halu kayak sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind of Future ✔
Fiction généraleSetiap manusia pasti memiliki penyesalan dalam hidupnya dan tidak jarang ingin kembali ke masa lalu walau hanya bisa beberapa menit saja. Manusia dilahirkan dengan memiliki ketidaksempurnaan karena di dunia ini yang sempurna hanya satu, yaitu tuhan...