Jean
Selain kecoak, satu hal yang paling gue benci adalah lihat papi sama mami berantem. Terlebih saat gue lihat mata mami udah memerah karena nahan untuk gak ngeluarin air mata di depan papi saat mereka cekcok. Bagi gue dan kembaran gue ngelihat mami sama papi cekcok adalah hal yang udah gak tabu lagi. Kita cuma terus berharap mereka akan akur suatu hari nanti, tapi semua itu sirna saat papi pergi dari rumah. Bukan, papi bukan pertama kalinya pergi dari rumah setelah berantem sama mami tapi kali ini papi beneran gak pulang selama sebulan. Kata orang-orang papi punya simpenan di luar sana, tapi menurut gue dan Sean papi gak mungkin gitu mau se heboh apa papi sama mami cekcok. Tapi, hari ini gue berhasil percaya satu hal. Mami sama papi emang gak pernah punya perasaan satu sama lain dari dulu dan hanya ada keterpaksaan di antara mereka. Gue pikir beberapa minggu terakhir ini gak ada apa-apa di antara mereka, ternyata keduanya pisah ruma karena mami udah nyerahin gugatan pisah ke pengadilan negeri.
"Sampai jumpa besok di pengadilan, Ras. Setelah itu kamu baru bebas untuk ngelakuin apapun yang kamu mau bahkan untuk gonta-ganti pacar sekalipun." Gue sama Sean sedari tadi gak berani masuk ke rumah dan sibuk mendengarkan percekcokan keduanya dari pintu luar yang sialnya kedengeran. Gue tenak pasti tetangga sering banget gosipin mereka berdua.
Plak!
Dari celah pintu gue bisa liat tangan mami melayang ke pipi papi. Jangankan mami, gue aja nangis denger papi ngomong kayak gitu ke mami. Seolah-olah laki-laki yang 18 tahun gue anggap sebagai sosok ayah yang baik sama anak-anak nya walau enggak sama istrinya bisa menganggap mami gue gak punya moral kayak gitu. Baru gue mau buka pintu rupanya ada tangan lain yang buka pintu jauh lebih kasar dari apa yang mau gue lakuin. Kakinya bergerak cepat dan langsung mencengkram tangan papi lalu menariknya keluar dari rumah.
"Pergi!" Kesalnya, mata Sean-kembaran gue memerah karena marah. Rahangnya mengeras dan alisnya menaut, persis papi mukanya kalau lagi marah kayak gini. Setelah itu laki-laki yang lebih tinggi dari gue itu langsung menarik gue masuk dan menutup pintu dengan kencang meninggalkan papi yang kelihatannya syok ngeliat anak bungsunya teriak ke dia. Genggaman Sean di tangan gue mengendur, gue yang saat itu ada di belakang dia bisa lihat kalau punggungnya bergetar. Sean nangis sambil masih megang gagang pintu.
"Se-"
"Lo, samperin mami. Kasih minum, gak usah liat gue." Katanya, Sean itu tipikal orang yang gak pernah nampakin lemahnya dia ke orang lain gak kayak gue yang emang seringan nangis kalau nemuin mami papi lagi berantem.
"Mi? Ini Jean bawain air, mami minum ini dulu."
Mami nerima segelas air yang gue ambilin dan meminumnya. Semenjak sebulan papi pergi dari rumah gue dan Sean sering mendapati mata mami yang sembab dan pastinya karena mikirin keluarga yang udah gak mungkin utuh ini. "Makasih, Je. Ke kamar sana, mami masih pengen beresin macem-macem."
Mami jangan senyum please, hati Jean sakit kalau dalam keadaan begini mami masih paksain senyum. Gue liat kebelakang dan udah gak menemukan Sean di depan pintu, entah sejak kapan bocah itu masuk ke kamarnya yang gak jauh dari sana. Gue melihat mami sekali lagi yang masih duduk termenung di sofa. Entahlah gue kaget tapi gak terlalu setelah tau mami sama papi mau pisah, mereka seolah gak pernah damai sekalipun dan hanya bertahan dengan alasan dua anak kembar mereka. Gue merengkuh mami berusaha untuk gak mengeluarkan air mata, "Mami gak papa Jean..."
"Emang kenapa sih, mi. Orang Jean mau meluk mami aja, gak boleh?" Pada akhirnya mami balas meluk gue, gak lama gue merasakan raga yang gue anggap kuat di luar namun rapuh di dalam ini mulai bergetar dan mengeluarkan suara isakan. Gue mengeratkan pelukan gue pada mami dan masih berusah untuk gak mengeluarkan air mata karena gue gak mau makin membuat satu-satunya wanita yang gue sayang ini makin hancur.
"Maafin mami karena gak bisa ngasih Jean sama Sean keluarga yang sempurna, dari awal mami sama papi gak pernah bisa satu pikiran maafin kita." Ucap mami disela tangisannya.
Gue gak menjawab dan masih membiarkan mami menangis sepuasnya walau pada akhirnya beban mami cuma berkurang dikit. Entah kenapa feeling gue bilang kondisi Sean saat ini gak jauh beda dari mami. Secara Sean itu lebih deket sama papi dan dia bakalan kecewa berat kalau menemukan keburukan yang bahkan gak pernah dia bayangkan akan semengecewakan ini. Gue sama mami menghabiskan waktu kurang lebih 15 menit di ruang tengah sampai mami melepaskan sendiri pelukan gue dan menyuruh gue untuk masuk ke kamar. Gue mengecek handphone dan mendapat puluhan panggilan dari nomer papi. Baru pengen gue sambungkan handphone gue ke kabel charger tiba-tiba papi nelfon lagi.
"Halo?"
"Je? Kamu la-"
"Papi maafin Jean karena motong omongan papi, tapi please untuk saat ini jangan hubungin nomor siapapun di rumah ini. Baik Jean ataupun Sean, please. Kalau kita berdua udah bisa berpikir jernih nanti Jean bakal ngehubungin papi duluan." Gue langsung memutus sambungan telfon dari papi dan mematikan handphone gue membiarkan ponsel gue terisi penuh lebih dulu. Terserah mau berapa banyak informasi dari kelas yang akan masuk, gue lagi gak mood buka handphone.
Kepala gue terlalu mumet untuk sekedar belajar buat besok apalagi besok merupakan sidang mami sama papi yang pertama, walau keduanya ngelarang keras gue untuk ikut tapi tetap aja otak gue gak bisa mikir bener. Baru mau jalan ke kamar mandi untuk membersihkan badan tiba-tiba Sean nongol di pintu. "Yan?"
"Papi nelfon lo?" Sean jarang serius, sekalinya serius dia bener-bener mirip papi dari segi muka ataupun caranya ngomong.
"Iya barusan, kenapa?"
"Gue mau minta maaf gara-gara tadi kalap." Katanya sambil nunduk. Rumah ini ruwet banget pengen gitu gue merem terus liat mami sama papi damai. Mustahil kah?
"Papi gak nelfon lo?"
"Handphone gue matiin dari tadi, sengaja." Sean masuk ke kamar gue dan langsung merebahkan dirinya di kasur. Gue pun juga mendudukkan diri dipinggiran kasur, kita masih sama-sama pakai seragam dan gak berniat sama sekali untuk ganti.
"Je, yang orang-orang bilang tentang papi kira-kira bener gak ya?"
"Yang mana? Tetangga lo ngeteh mulu setiap hari jadi gue sampai gak inget gosip yang mana."
"Yang bilang kalau papi punya perempuan lain di luar sana." Gue gak jawab apapun dan cuma merebahkan diri di samping dia.
"Bayangin Je, seandainya dulu papi sama mami nikah bukan gara-gara dijodohin apa iya bakal kayak sekarang."
Tangan gue bergerak menjitak dahinya, "cuma ada dua kemungkinan kalau gitu! Antara lo sama gue gak akan pernah lahir atau ya mungkin lebih baik dari ini, gak usah aneh-aneh isi otak Lo."Kami berdua diam sejenak, bagi gue dan Sean tiduran begini sambil gak sengaja overthinking tuh udah biasa, terlebih jika bersangkutan paut dengan kedua orangtua kami. Sebuah pemikiran bodoh tiba-tiba terlintas di otak gue. "Yan, nih kalau misalkan kita dikasih kesempatan untuk time travel ke masa lalu saat mami sama papi belum nikah lo mau apa."
Sean melihat gue kesal, "makin malam otak lo makin bikin gue miris, Je. Itu hal paling gak mungkin asal lo tau." Sarkasnya sambil memejamkan mata.
"Kan semisal, Yan. Semisal."
Dia gak membuka matanya sama sekali, "gue mau ngerubah panggilan, gue gak mau panggil mereka papi mami." Kesempatan kayak gitu dia cuma mau itu doang, dia gak bisa mikir lebih realis dikit kenapa?
"Realis dikit si."
"Pertanyaan lo aja udah gak realis anjir, minta dimasukin lagi ke perut mami?!" Bener si, tapi kan seenggaknya yang bermutu dikit gitu tujuannya.
"Panggilan itu bukan mereka sendiri yang buat, itu panggilan dari opah. Gue cuma mau panggilan yang tulus dari persetujuan dan psrgulatan batin mereka, bukan karena titah opah. Lo paham maksud gue, Je?" Gue mengangguk. Kebanyakan main sama om Juan bikin pikiran Sean lumayan jauh juga rupanya, gak ketebak.
"Kalau gue bisa nemuin mereka di masa lalu, gue cuma mau jadi cupid di antara mereka supaya gak ada kejadian kayak sekarang." Ujar gue, Sean gak menanggapi sedikitpun. Gue melihat kearahnya yang lagi sibuk memandangi langit-langit kamar gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind of Future ✔
Fiksi UmumSetiap manusia pasti memiliki penyesalan dalam hidupnya dan tidak jarang ingin kembali ke masa lalu walau hanya bisa beberapa menit saja. Manusia dilahirkan dengan memiliki ketidaksempurnaan karena di dunia ini yang sempurna hanya satu, yaitu tuhan...