Sean
Satu kata untuk mami malam ini,
Cantik.
Demi apapun kayaknya cowok normal manapun yang lihat mami sekarang pasti akan terpaku. Walau pakaian yang dikenakan bukan pakaian wah dengan harga yang lua biasa, mami malah kelihatan elegan banget. Lagi juga pakaian tahun 2000 dengan pakaian 2020 hampir mirip, karena di tahun 2020 tren kembali mundur ke masa lalu. Jadi ya gak kelihatan jadul karena gue udah terbiasa lihat orang pakai-pakaian ala-ala vintage atau retro atau apalah itu namanya gue gak tahu.
Di sisi lain gue juga perhatiin papi, awalanya papi kayak yang terpesona tapi sekejap langsung balik pasang ekspresi datar lagi. Kayaknya bener di antara mereka berdua ada masalah.
"Oh iya ini yang dua siapa, adiknya Dewa juga kah?" Tanya seorang laki-laki paruh baya yang duduk di atas kursi roda, dia opah gue. Gue seneng lihat opah di sini yang masih bisa ngomong dan masih bisa ketawa karena di zaman gue opah udah gak bisa apa-apa, bahkan opah kena skizofrenia atau bahasa kasarnya pikun yang buat beliau kadang gak inget sama beberapa orang.
Walau gue dan Jean memang gak pernah di ajak lari-larian sama opah karena opah harus duduk di kursi roda. Tapi opah sayang banget sama gue dan Jean, kondisi opah semakin drop waktu umur gue dan Jean menginjak angka 10 dan dinyatakan stroke sekaligus terkena skizofrenia dua tahun setelahnya. Padahal di sini opah lagi berjuang lawan kanker dan berhasil sembuh tapi masa tua nya beliau malah harua menghabiskan waktu di ranjang dan gak bisa berbuat apa-apa.
"Ini mantan pasiennya Naras yang kebetulan tempat tinggalnya dekat sama saya, jadi sengaja saya ajak untuk meramaikan." Kata papi. Gue dan Jean bergerak untuk menyalami seluruh keluarga mami lalu kembali lagi ke sisi papi.
Rumah ini, gue cuma kesini setahun sekali kalau lebaran. Mudik bahasanya mungkin. Karena mami dan papi tinggal di Jakarta setelah menikah dikarenakan papi dipindah tugaskan ke kantor pusat kalau gue ingat waktu itu mami pernah cerita. Kayaknya kalau papi gak dipindah ke pusat gue dan Jean masih bisa ngerasain gimana rasanya tinggal di Jogja.
Acara berlangsung lancar dan setelah acara makan malam bersama semuanya mencar. Kecuali gue dan Jean yang malah duduk di ruang tengah ditemani tante Bina dan om Bima yang sedari tadi gak berhenti memandang ke arah kita berdua.
"Kalian kembar? Kok gak mirip?" Gak sadar diri, sendirinya juga gak mirip sama kembarannya. Om Bima aja sampai ngehela napas berat dengernya.
"Mbak sama mas juga kembar ya? Kok gak mirip?" Sekarang giliran gue yang nyeletuk sampai buat Jean nyenggol tangan gue kencang.
Poin pertama, gue dan tante Bina memang gak pernah akur karena dari masih kecil sampai segede gini adik bungsunya mami itu suka banget nyiksa gue dengan nguyel-nguyel pipi gue dan alasannya karena dia gak bisa nguyel pipi mami yang sama gembil nya seperti gue.
Poin ke dua, tante Bina di sini lebih tengil. Gue yakin sifat tengil gue ini nurun dari keluarga mami khususnya tante Bina. Pasti.
Sembari maldeni tante Bina yang ngobrol sama Jean gue melihat ke arah pintu. Di sana ada sepasang calon suami istri yang duduk seberang-seberangan dari pintu. Gak ada satupun yang buka mulut, hanya basa basi supaya terlihat dekat. Ini seriusan mami sama papi nikah gak ikhlas? Yaampun.
Gue berdiri dari kursi anyam itu dan ke depan. Alibi untuk nyari angin karena bosen di dalam. "Diem-diem aja, anak kecil aja tahu kalau mas sama mbak lagi berantem." Celetuk gue lagi-lagi. Gue mendudukkan diri di samping mami dan melipat tangan depan dada. Biar terkesan keren kayak di film-film.
"Ngapain keluar? Masuk sana." Usir papi. Gak tau kenapa papi kayak yang suka ngajak ribut sama gue dari beberapa hari yang lalu. Gak tau gue gak paham. "Mau nya di sini kenapa si. Nemenin mbak Naras yang dicuekin calonnya, mbak kalau mas masih begitu mbak nikah sama saya aja mau gak? Ya itung-itung beda 10 tahun saya bisa ngapain aj- aduh! Sakit...."
"Gak usah aneh-aneh. Daripada jadi suaminya kamu lebih pantes jadi anaknya, gak usah ngada-ngada." Kata papi, cemburu keliatannya.
Dalam hati gue bangga karena pelajaran ngalus yang selama ini diajarin Arka ada gunanya juga. Mami senyum-senyum denger papi ngomong kayak gitu.
Wah!
Paham nih gue!
Mereka bukan saling gak ikhlas terenyata, cuma masih menempatkan diri. Tapi gue gak bisa proses itu berjalan terlalu lama karena gue sendiri tahu cepat atau lambat gue akan kembali ke tahun dimana gue seharusnya ada walau gue gak tau bagaimana caranya untuk kembali.
"Gini mas, mbak. Untuk contoh aja yaa, saya punya orangtua dan masih lengkap. Orangtua saya ini memang masih lengkap, tapi gak ada keharmonisan di antara mereka berdua. Setiap cuma ada mereka berdua di kamar pasti yang ada cuma suara keributan. Saya sama Jean gak tau apa masalah mereka berdua, tapi saya tahu saat dua orang saling adu urat dan gak pernah berujung pasti penyebabnya karena keduanya punya keegoisan tinggi masing-masing sampai akhirnya saat ini hubungan mereka ada di ambang perceraian dan saat saya sama Jean memutuskan untuk kabur sebenarya mereka lagi urus sidang pertama."
"Saya tahu saya sama Jean emang masih belum dewasa untuk mikirin apa penyebab orangtua kami gak pernah akur, tapi mas sama mbak pasti tahu ketidak harmonisan yang dibuat orangtua berdampak sama anaknya. Saya sengaja ceritain ini supaya mas sama mbak bisa lebih matang pertimbangan keputusan untuk jenjang yang lebih jauh."
Tepatnya supaya kalah takdir benar-benar berubah gue dan Jean gak perlu merasakan kepahitan ini.
Sebenarnya hal yang gue inginkan dari keharmonisan mami sama papi gak lain adalah untuk kesehatan mental Jean. Sejak satu tahun terakhir beberapa kali gue dapatin ada silet di kamar Jean dan ada luka panjang di pergelangan tangannya yang selalu dia tutupi pakai pakaian panjang dan jam tangan. Gue tau kalau itu ada kaitannya sama kondisi rumah karena di sekolah gue tahu Jean gak pernah buat masalah dan temannya juga gak ada yang aneh-aneh.
Belum lagi saudara gue satu-satunya itu sering bilang kalau dia mau mati aja sambil senyum setiap denger bentakan mami ke papi dan bantahan papi yang gak kalah keras ke mami. Inget itu semua perasaan gue sebagai anak sekaligus sauadara terasa sesak. Sesak banget, karena satu-satunya orang yang gue percaya sekaligus harta gue satu-satunya ngomong hal gak berguna kayak gitu.
Gue melihat ke arah mami dan papi yang tiba-tiba diam lalu papi berdiri dan mendekat ke arah gue lalu mengusap kepala gue tanpa melihat. Mami juga menyentuh lengan gue dan mengelusnya halus.
"Saya janji kejadian orangtua kamu gak akan terjadi di saya dan Naras." Katanya, sekarang rasanya gue beneran terharu. Terharu karema harapan gue akan ucapan yang papi omongin sangat besar. Sangat.
"Papi saya mirip sama mas, tapi papi saya gak pernah nepatin janji nya. Saya harap mas gak ulangi apa yang papi lakukan."
"Semoga."
***
Aku mau tanya di sini apa ada yang kasusnya kayak si kembar?
Kalau ada, semangat yaa
Aku tahu gak gampang untuk menghilangkan trauma yang dibuat sama dua orang yang harusnya jadi panutan kita. Tapi siapapun kalian aku harap jangan sampai karena muak kalian melakukan hal diluar nalar kayak kasusnya Jean.
Aku tahu bukan karena aku ngalamin tapi aku paham kalau misalkan aku ada di posisi kalian pun aku akan stress dan mungkin juga bisa melakukan hal diluar nalar.
Tapi selalu ingat, di dunia ini lingkungan kalian gak hanya sekedar keluarga. Di luar sana masih banyak yang sayang kalian, sebenarnya orangtua kalian juga tapi terkadang ego mereka terlalu tinggi sampai gak ingat akan eksistensi kalian di sekeliling mereka saat mereka meledak.
Aku harap cerita what kind of future ini bisa jadi motivasi kalian. Motivasi kalian di masa depan nanti untuk jadi tipe orangtua yang kayak apa.
😊
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind of Future ✔
Fiksi UmumSetiap manusia pasti memiliki penyesalan dalam hidupnya dan tidak jarang ingin kembali ke masa lalu walau hanya bisa beberapa menit saja. Manusia dilahirkan dengan memiliki ketidaksempurnaan karena di dunia ini yang sempurna hanya satu, yaitu tuhan...