Makan Malam

764 54 7
                                    


Tepat satu Minggu Gandi tidak pulang ke rumah. Alasan yang dia berikan pada ibunya adalah sibuk. Beberapa hari lalu memang ada pegawai baru yang dikirim langsung dari departemen kesehatan untuk bertugas di rumah sakit besar milik keluarganya. Hal itu perlu beberapa berkas sebagai formalitas, pengenalan standar kerja dan berbagai macam alasan yang digunakan Gandi sebagai senjata saat ibunya merengek ingin dia pulang ke rumah.

Alasan lain tentu saja jumlah pasien yang selalu membludak. Dulu Gandi sering mengoper jatah itu untuk dokter jaga selanjutnya, tapi beberapa hari ini dia sendiri yang menangani mereka hingga bukannya semakin habis, jumlah antrean malah makin hari makin tidak masuk akal.

"Sepertinya Dokter Gandi idola semua pasien, ya?" Si anak baru—Diaz namanya, tersenyum di tengah pintu ruangannya.

Gandi meregangkan otot tubuh yang serasa akan remuk karena menangani pasien dari subuh hingga larut malam seperti ini. "Dokter Diaz belum balik?"

"Saya masih ada jam jaga sampai nanti malam, Dok," jelasnya sebagai junior sopan. "Dokter mau pulang?"

Gandi melirik ponselnya yang berisi rentetan kalimat sang ibu jika dirinya tidak pulang. "Iya, tolong kamu handle bagian UGD. Nanti biar saya yang bilang ke Dokter Irsyad untuk menggantikan jam jaga malam di poli bedah."

Diaz mengiyakan dengan patuh, lantas mereka berpisah karena baru saja ada pasien kecelakaan dan Diaz bergegas menuju UGD sementara Gandi memastikan pekerjaannya sudah selesai sebelum meninggalkan rumah sakit untuk pulang.

Sesampainya di rumah dia sudah disambut dengan kondisi ruangan yang sepi. Tidak ada manusia satu pun yang terlihat di ruang tamu, ruang tengah, bahkan dapur. Sepertinya ibunya sudah tidur. Gandi memutuskan mandi terlebih dahulu sebelum makan malam. Perutnya keroncongan karena melupakan makan siang saking banyaknya pasien yang melahirkan.

"Aduh!" Langkah kaki Gandi terhenti begitu mendengar suara itu. Suara yang membuat tubuhnya bergidik tanpa tahu penyebabnya. Saat tubuhnya berbalik, sudah ada Hara yang tengah berjongkok, memunguti entah apa di lantai dan berusaha memasukkan ke dalam wadah. Tangan dan kakinya gemetar, jadi sudah bisa dipastikan perempuan itu tahu dirinya sudah pulang.

Rasanya Gandi ingin mengumpat saat tubuh itu membungkuk hingga belahan dadanya terlihat. Tampak kenyal dan juga penuh. Dia ingin meremasnya dan merasakannya meskipun satu Minggu ini asupan biologisnya sudah tumpah-ruah dari jatah yang diberikan Dara.

Tanpa mengatakan apapun, Gandi kembali berbalik dan melanjutkan langkah ke lantai atas. Tidak ada gunanya bicara dengan gadis itu sementara ibunya justru memperlakukannya seperti putri hilang yang kembali pulang. Jika Gandi ingin gadis itu pergi, setidaknya harus ibunya yang menginginkannya. Dan itu seperti sebuah hal yang mustahil untuk terjadi.

* * *

Laki-laki itu pulang.

Satu Minggu ini Hara tidak bisa berhenti memikirkan kejadian di ruangan Gandi tempo hari. Ada perasaan menyesal karena sudah bertindak tidak sopan dan membuat anak perempuan baik hati itu tidak pulang ke rumah. Namun ada juga perasaan kesal, mengingat harusnya dirinya tidak menyesal sudah memberi pelajaran pada laki-laki tidak sopan seperti itu.

Hara berkali-kali mendengar Tante Rita menelepon anaknya agar pulang. Tapi jawabannya selalu membuat wanita itu murung hingga membuat Hara semakin hari semakin merasa bersalah. Dia ingin minta maaf. Tapi sepertinya hal itu sulit sekali karena bahkan baru melihat punggungnya saja tubuhnya sudah gemetar tidak karuan.

"Hara, kenapa di sini?" Wanita itu memperhatikan tumpahan mie goreng yang sudah masuk ke dalam mangkuk kaca yang dia genggam. "Katanya tadi mau masak mie?"

TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang