Gagal Minggat

1K 65 5
                                    


Sesuai permintaan sang tuan muda yang menurut Hara tidak mencerminkan pria baik hati seperti yang diceritakan Tante Rita kepadanya, Hara berjalan pelan menuju satu-satunya meja yang ada di kamar tempatnya tidur tadi malam. Ada sebuah buku tulis di tumpukan buku-buku yang lain—dan juga kotak pensil dan segala macam keperluan tulis-menulis anak sekolah. Entah itu milik siapa, tapi Hara merasa sangat beruntung benda-benda itu ada di dalam kamar yang dia tempati saat ini.

Hara menggeser kursi ke belakang, lalu duduk dan mengambil satu buku, merobek bagian tengah dan meletakkan di bagian atas sebelum beralih mengambil pensil dan mulai menulis.

Lalu seketika bingung..

Apa yang harus ia tulis? Apakah surat ini penting dan akan membuat Tante Rita merasa peduli pada orang asing yang diam-diam meninggalkan rumah dan hanya meninggalkan secarik kertas colongan?

Hara menggeleng, lalu mengembalikan kertas tadi pada selipan buku paling akhir. Mendorongnya menjauh dan berdiri gusar karena sadar bahwa satu-satunya hal yang harus dilakukannya saat ini hanya pergi dari rumah ini diam-diam.

* * *

"Maaf, Dok, masih ada satu pasien yang berkeras ingin ditangani oleh Dokter. Beliau sudah menunggu dari tadi pagi dan pulang sebentar sebelum kembali ke sini."

Gandi mengernyit heran mendengar penjelasan suster di depan meja praktiknya. Kepalanya sedikit pening, entah terlalu lelah atau karena belum sempat membuang cairan yang seharusnya sudah meledak keluar tadi malam. Sialan! Mengingat itu membuatnya kembali merasa kesal.

"Hanya tinggal satu, kan?" Gandi memastikan. Jam kerjanya harusnya sudah selesai dari lima belas menit yang lalu. Tapi karena pasien yang ingin dia tangani membludak, terpaksa ia harus memundurkan jam istirahat.

"Benar, Dok. Saya sudah mengoper pasien lain ke Dokter Neo sesuai jadwal."

Gandi mengangguk singkat. "Suruh masuk. Setelah itu tolong kosongkan jadwal saya sampai nanti malam. Saya akan bicara pada Dokter Neo lagi nanti."

"Baik, Dok." Suster itu pamit undur diri dan berlalu keluar memanggil pasien terakhir yang kemudian masuk ditemani oleh laki-laki tinggi yang memasang raut kesal kepadanya. 

"Selamat siang, Dokter Gandi!" Sapa si pasien cerah ceria seolah mereka sahabat lama. Gandi tersenyum lebar—hal yang semakin membuat laki-laki di samping wanita itu merengut masam.

"Selamat siang ibu, Nara. Silakan," Gandi segera mengulurkan tangan dan menghela mereka ke ranjang pemeriksaan. "Saya kira pasien terakhir tadi siapa. Ternyata Anda."

"Panggil Nara saja, Dok," pintanya dengan senyum yang terus tersungging di bibir. Gandi hanya tersenyum saat tak sengaja matanya mendapat delikan tajam dari si suami sang pasien. "Dari kemarin saya ingin periksa sama Dokter. Tapi suami saya sibuk terus. Masa saya dipaksa ganti Dokter perempuan. Kan nggak bisa segampang itu, ya?"

Nara menyerocos sementara Gandi mulai meminta peralatan pemeriksaan pada suster. "Apa ada keluhan, Bu?" Gandi hendak menyingkap baju di bagian perut untuk melakukan pemeriksaan saat tiba-tiba tangannya dicekal.

"Apa pemeriksaannya tidak bisa dilakukan suster saja? Atau hanya dilakukan tanpa membuka baju segala?" cetus si suami yang tak lain adalah pengusaha kaya raya bernama Agas Dirgantara.

Gandi tersenyum sopan. Sedikit kesal sebenarnya. Tapi setiap kali Nara periksa, si suami memang sangat menyebalkan. Banyak hal yang dilarang padahal itu sudah menjadi tugas dan prosedur pemeriksaan.

"Maaf, Pak, tidak bisa. Saya sebagai Dokter kandungan Ibu Nara harus memeriksa langsung calon bayi agar tahu lebih jelas mengenai perkembangan janinnya. Apa boleh saya lanjutkan?"

"Boleh, Dok. Tentu saja boleh." Nara menyahut dan mencubit perut suaminya hingga meringis kesakitan. "Kamu udah janji sama aku. Diem!"

Dengan wajah sangat tidak rela, Agas membiarkan Dokter di hadapannya memeriksa perut putih istrinya. Memberikan gel dan mengusap-usap menggunakan alat seperti biasa. Segalanya berjalan lancar karena Nara tidak berhenti melotot dan Gandi yang sebisa mungkin menjaga tangannya agar tidak menyentuh kulit sang pasien.

Hampir setengah jam kemudian pasangan itu selesai dan pamit pulang diiringi tatapan tajam sang suami padanya. Gandi hanya membalas dengan senyuman sopan meski diam-diam sebal karena merasa pekerjaannya dianggap penjahat dan bukan penolong sesama umat manusia.

Gandi menghela napas lelah, kemudian melepas sneli dan berdiri—hendak meninggalkan ruangan saat ponselnya berdering. Nama Mama menari-nari di atas layar dan langsung dia geser ke tombol hijau.

"Iya, Ma?"

"Kamu sudah makan?"

Gandi melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Belum. Ini Gandi baru selesai dan mau–"

"Bagus. Jangan pesan makanan. Mama bawakan kamu masakan dari rumah."

"Mama ke sini?" Gandi tampak menghela napas lelah. "Ma, mama harusnya nggak perlu repot-repot begini. Mama harus lebih banyak istirahat. Gandi nggak mau mama kelelahan dan jatuh pingsan seperti tadi malam."

"Udah, kamu jangan cerewet. Ingat, jangan kemana-mana. Tunggu di ruangan kamu. Sebentar lagi makanannya sampai."

Panggilan terputus bahkan sebelum Gandi menjawab. Astaga. Ibunya memang keras kepala.  Akhirnya mau tak mau Gandi kembali duduk diam dan menunggu. Rencananya untuk pergi sebentar gagal total. Ibunya akan semakin cerewet saat tahu dirinya keluyuran padahal jam kerja sebenarnya masih padat merayap layaknya perempuan yang berusaha mendekati anak semata wayangnya.

Pria itu akhirnya mengetik pesan pada seseorang. Kemudian meletakkan kembali ponselnya di atas meja dan menurunkan sandaran kursi agar punggungnya tidak terlalu lelah. Istirahat sebentar sepertinya tidak masalah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena orang asing itu pasti sudah minggat dari rumahnya.

Gandi mengulum senyum dan memejamkan mata. Entah terlalu lama menunggu atau karena dirinya yang terlalu lelah, Gandi sampai ketiduran. Ketika matanya kembali terbuka, sudah ada tumpukan rantang di atas meja. Khas perbuatan mama yang lebih suka cara sederhana ketimbang meletakkan makanan di wadah yang lebih modern.

Gandi bangkit, mengucek mata dan membenarkan letak kursi. Perutnya terasa sangat lapar dan ... Di mana ibunya sekarang?

"Akhirnya bangun juga."

Suara itu hampir membuat Gandi terjengkang saking kagetnya. Matanya mendelik horor. Bagaimana bisa si orang asing itu bisa berdiri di dalam ruangannya? Bukankah dia sudah menyuruhnya minggat? Apa gadis itu salah paham dengan semua kata-kata yang dia ucapkan sehingga malah pergi ke sini karena rumahnya sudah tidak bisa ditinggali?

"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Gandi berdiri. Bertanya ketus seraya menatap sinis.

"Saya—"

"Saya menyuruh kamu pergi dari rumah. Dari keluarga saya dan dari pandangan mata saya. Apa jangan-jangan kamu mau memohon supaya saya bersedia menampung kamu kembali?" Gandi berdecih semakin sinis. "Jangan mimpi!"

"Ternyata kamu lebih cerewet dari yang saya duga," komentar Hara membuat Gandi mendelik tak suka.

"Apa kamu bilang?!"

Hara berjalan ke depan Gandi, balas menatap matanya dan dengan santai berkata, "Saya mengantarkan makan siang untuk Anda. Tante Rita yang—"

"Kamu belum pergi juga dari rumah?!" Gandi memekik.

"—menyuruh saya ke tempat ini. Dan ... Saya juga mau bilang kalau saya tidak akan pergi kemana-mana selagi Tante Rita masih bersedia menampung saya."

Gandi melotot syok.

Apa-apaan perempuan ini?!

*  * *

Ohayou! Lama tak jumpa. Hehe
Agas - Nara di atas emang mereka kok. Lagi kangen aja makanya disuruh mampir bentar. XD

Btw, apa kabar? Semoga masih nyambung meskipun jadwal update kayak doi yang suka ilang-ilangan 🤪

TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang