Ohayou!!!
Karena masih dalam suasana lebaran, saya mau ucapin minal aidzin wal Faidzin, mohon maaf yaa kalau selama ini saya ada salah kata, salah update, dan salah-salah lainnya.
Heppi yiding! 💕
* * *
Meja makan sudah bersih dari semua piring-piring yang sebelumnya penuh. Noda-noda bekas juga sudah dilap, menyisakan kekosongan kecuali sekotak tissue yang sempat Gandi lemparkan kepadanya.
Hara duduk terpekur di kursi meja makan dengan kepala menunduk nyaris menyentuh meja. Sementara Gandi duduk bersidekap tepat di seberang meja—menyaksikan kegugupannya. Seusai makan malam bersama, laki-laki itu sengaja mencegat ketika Hara hendak masuk ke dalam kamarnya. Alasannya ingin membahas hal penting dan tidak ada yang boleh tahu selain mereka berdua.
Awalnya Hara tidak mau. Tentu saja dia masih trauma berada dalam jarak dekat dengan pemuda seperti Gandi. Tapi laki-laki itu memberikan tatapan tajam, nyaris menyudutkan posisinya sebagai penumpang dan dengan terpaksa Hara mengikuti langkahnya kembali ke meja makan.
"Kamu tahu kenapa saya tidak pulang dua Minggu ini?" Gandi yang pertama kali melempar kata.
Hara menggeleng. Kakinya kesemutan karena ditekuk terlalu lama di bawah meja.
"Itu semua karena kamu," lanjut Gandi masih dengan posisi yang sama. "Setelah melihat bagaimana mama saya memperlakukanmu tadi, saya rasa, kesempatan untuk mengusir kamu pergi sudah tidak ada. Mama saya jelas sangat peduli padamu."
Kali ini kepala Hara terangkat. Langsung berserobok dengan tatapan mata tajam yang Gandi layangkan. "Kamu tahu, kamu sudah membuat saya terusir dari rumah."
"Tapi saya tidak melakukan apa-apa," jawab Hara dengan intonasi lemah. Dia takut Gandi akan membalik meja dan menghantamkan benda itu di kepalanya.
Melihat kepolosan dan rasa takut yang membumbung tinggi di wajah gadis itu membuat Gandi kesal. Seharusnya dia tidak peduli. Tapi dia bukanlah pengecut yang hobi menyudutkan seorang perempuan—semenyebalkan apapun perempuan itu.
Setelah menarik napas panjang, Gandi kembali berkata, "Bagaimana tanggapan kamu soal permintaan mama saya tadi?"
"P-permintaan?"
"Kapan kita menikah?"
"Apa?!"
"Jangan berteriak!" Gandi mendelik sambil bolak balik menatap pintu kamar ibunya. "Kamu mau kita bicara pelan di sini atau di kamarku?"
"Di sini saja! Di sini saja!" Hara menggeleng-geleng panik. Lantas menjawab pertanyaan Gandi dengan pertanyaan pula. "Saya rasa permintaan Tante Rita tidak serius."
"Tidak serius bagaimana? Mama memintanya hampir setiap hari setelah kamu tinggal di rumah ini." Tanpa sadar tubuh Gandi yang semula santai berubah tegang. Bahunya lebih condong ke depan, membuat Hara yang pelan-pelan menggeser kursinya ke belakang. "Jangan menjauhiku seperti itu!"
"A-ap, tap- ak,"
"Tck!" Gandi kembali merebahkan punggung. Bodo amat jika keputusannya kali ini akan dia sesali seumur hidup. Tapi obsesi mamanya untuk menjadikan Hara menantu masih menjadi misteri besar. Gandi tidak ingin membebani ibunya dengan permintaan paling tidak masuk akal dan satu-satunya cara membebaskan kekonyolan ini hanyalah mengikuti alur yang mamanya berikan. "Menikahlah dengan saya—tidak, kamu harus menikah dengan saya!"
Hara melongo sejadi-jadinya di atas kursi.
"Ini bukan lamaran, jadi kamu tidak memiliki pilihan untuk menjawab iya atau tidak. Saya yang memutuskan. Tugas kamu hanya melakukan semua hal yang mama saya suruh. Dan–" Gandi menatap Hara lamat-lamat di wajahnya.
"Dan apa?" Suara Hara bahkan bergetar saking terkejutnya ia.
"Dan perkataan saya, setelah kita resmi menjadi suami istri nanti."
"Bagaimana jika saya menolak?"
"Saya sudah bilang ini bukan lamaran," jawaban Gandi seperti diseret-seret. "Tapi kalau kamu memang tidak mau, maka saya harap kamu juga tahu diri untuk pergi dari rumah ini. Mama saya sudah memberikan kamu tempat tinggal, makanan, dan juga kasih sayang. Saya memang tidak menyukai kamu, tapi saya menyayangi mama saya lebih dari diri saya sendiri. Jadi jika kamu ingin menyakiti hati mama saya, lebih baik kemu enyah dari kehidupan kami."
Laki-laki ini serius. Hara menelan ludah mendengar kesungguhan Gandi dalam berkata-kata. Tapi meski begitu, Hara tetap tidak mau jika harus menikah dengannya. Gandi memang sangat amat tampan, seorang dokter, dan laki-laki yang sangat menyayangi ibunya. Tapi hal itu masih belum cukup. Hara tidak bisa menjalin hubungan dengan siapapun—apalagi membina sebuah rumah tangga setelah kejadian naas yang pernah dia lalui.
"Kalau begitu saya akan pergi dari rumah ini."
Sungguh diluar prediksi. Gandi kita Hara akan langsung setuju begitu dia memberikan penawaran—eh tidak, perintah ini untuknya. Tapi rupanya gadis itu sangat keras kepala. Sombong dan tidak tahu terima kasih. Gandi langsung berdiri dan memberikan isyarat tangan ke arah pintu kamar Hara berada.
"Tunggu apalagi? Kalau itu jawaban kamu, silakan kemasi barang-barang kamu dan pergi dari rumah saya sekarang juga."
"Tapi Tante Ri–"
"Mama saya bukan urusan kamu. Mungkin besok mama akan sedikit kecewa, tapi kamu tidak lupa bukan siapa di sini yang anak kandungnya? Orang luar seperti kamu hanya singgah sebentar sebelum akhirnya dilupakan."
Jawaban Gandi membuat hati Hara merasa sakit entah mengapa. Laki-laki itu benar. Dirinya bukan siapa-siapa dan seharusnya tidak merasa spenting itu. Apa yang dilakukan wanita itu barangkali hanya belas kasihan kepada sesama manusia, perempuan, atau hal umum lainnya.
Dengan kaki diseret, Hara meninggalkan meja makan dan masuk kembali ke kamar. Tidak ada yang dia bawa kecuali sekantong kresek berisi buku-buku pelajaran dan satu buah foto yang memuat dirinya dengan penolongnya.
Gandi masih berada di tempatnya ketika Hara keluar. Ekspresinya begitu acuh, nyaris tidak melihat bagaimana menyedihkannya penampilan Hara dengan kantong kresek bolong di tangan kanannya.
"Saya pamit. Terima kasih sudah memberi kesempatan tinggal di sini. Tolong sampaikan permintaan maaf saya pada Tante Rita."
Gandi hanya mengangkat alis dan berdeham. "Hem."
Setelah itu Hara benar-benar pergi meninggalkan rumah. Bunyi pintu kembali ditutup membuat Gandi spontan mengalihkan pandang ke arah jam dinding. Pukul dua belas malam. Sialan. Perasaan tadi saat mereka makan malam masih pukul sembilan.
Persetan!
Gandi beranjak dari kursi untuk kembali ke kamar. Mau jam berapapun saat ini itu bukan urusannya lagi. Perempuan itu sudah pergi dan apapun yang terjadi dengannya nanti tidak akan berdampak apa-apa bagi dirinya. Toh, Hara juga sudah rusak. Tidak ada yang perlu dilindungi lagi. Biarkan saja dia berjalan-jalan di luar, mungkin menikmati banyaknya bintang—
Suara kilat menyambar menghentikan pikiran Gandi yang mulai bercabang. Dia sedikit terkejut, tapi kemudian kembali membuat praduga baru.
—atau menikmati cahaya petir di atas kursi taman dengan jagung bakar di tangan kanan. Angin juga sepertinya berembus lumayan kencang, jadi dia tidak akan kepanasan. Lalu—
"Hujan?" Gandi bergegas turun dari tempat tidur menuju jendela. Guyuran hujan bak Katrina di Eropa. Suaranya keras, berisik sekali sampai-sampai suara pendingin ruangan terkalahkan. Secara refleks dia menyibak tirai dan menyusuri halaman depan, samping dan juga depan gerbang. Hara tidak ada dimana-mana. Yeah.. baguslah! Mungkin gadis itu sudah naik taksi menuju salah satu hotel untuk bermalam.
Tapi dia tidak punya uang! Gandi mengumpat ketika satu sisi dirinya memberikan opini berbeda. Tadi saat keluar rumah Gandi memang sempat melihat apa yang Hara bawa. Hanya buku dan selembar foto. Mustahil dia memiliki uang karena statusnya saja menumpang. Lalu kemana dia tengah-tengah hujan begini?!
Berengsek!
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch
ChickLitPINDAH KE APLIKASI FIZZO. ROMANCE ADULT - 21+ Hara tak pernah menduga bahwa kedatangannya ke Jakarta akan menjerumuskannya ke dalam masalah besar. Ia diperkosa oleh segerombol perampok pada malam buta. Disaksikan derai hujan dan suara hewan malam, d...