Pasien Perempuan

908 66 14
                                    



"Selamat pagi Dokter Gandi," sapa salah satu perawat begitu dia berpapasan dengan Gandi di lorong menuju kantin rumah sakit. "Mau ke kantin, Dok?"

Gandi mengangguk sekilas dengan senyum supertipis yang dipaksa keluar. Meskipun terkadang jengah karena tahu betul makna terselubung semua sapa dan kebaikan para wanita yang mencoba berinteraksi dengannya, Gandi tetap menunjukkan sikap  sopan dan ramah pada semua  orang. Hal yang membuat kekasihnya sebal karena menganggap Gandi sedang melakukan tebar pesona. 

Setelah mendapat jawaban dari pertanyaannya, si perawat pergi dengan senyum terkulum di wajahnya. Sementara Gandi melanjutkan langkah dengan wajah yang hari ini terlihat lebih kuyu daripada hari-hari biasanya.

"Loh, Dokter Gandi?" tiba-tiba Diaz-Dokter baru yang bekerja di sana muncul dari ruang isolasi darurat rumah sakit. Wajahnya tampak heran dengan kehadiran Gandi sepagi itu di sana. "Dokter Indra bilang anda cuti hari ini."

"Kamu baru selesai jaga malam?" bukannya menjawab pertanyaan sebelumnya, Gandi malah melempar pertanyaan lain.

Diaz mengangguk. "Iya, Dok. Ini baru mau ke ruang bedah."

"Kamu pulang saja. Pasien bedah biar tetap jadi tanggung jawab saya." Gandi mengusap wajahnya sekilas. Menghilangkan rasa kantuk yang membuat matanya sepat. "Tapi boleh minta tolong jaga di sana sebentar? saya mau beli kopi dan sarapan dulu."

Tanpa banyak kata, Diaz mengangguk dan pergi ke lorong paling kanan dari sisi bangunan. Pukul lima pagi begini suasana rumah sakit sedikit lebih lengang deri para pengunjung atau keluarga pasien. Udara sejuk dari taman terbuka yang langsung bisa dinikmati karena setiap pagi jendela kaca yang menjadi tembok pembatas akan dibuka secara keseluruhan. 

Sejak pertama kali datang kemari, Diaz tidak bisa berhenti berdecak kagum pada seluruh model bangunan rumah sakit megah milik salah satu pengusaha kaya raya yang saat ini sudah meninggal dunia. Kabarnya rumah sakit itu saat ini dikelola oleh istri dan anak beliau yang berprofesi sebagai dokter-meskipun tidak ada satupun pegawai yang tahu betul siapa dokter yang dimaksud karena Ibu Rita tidak pernah mengumumkan secara resmi. Dugaan paling kuat orang itu adalah Dokter Gandi. Tapi selebihnya tidak ada keterangan pasti.

Langkah kaki Diaz spontan berhenti begitu melewati salah satu kamar inap yang terbuka. Seorang perawat perempuan tengah menyisir rambut pasien wanita di atas kursi roda, tepat menghadap ke arah air mancur di tengah-tengah taman. Wajahnya pucat, tubuhnya nampak sangat kurus, rambutnya hitam panjang, sementara tatapan matanya ... wajah Diaz memucat. Kakinya melesat cepat menghampiri dua orang yang seketika terkejut melihat kedatangannya.

* * *

Dua gelas kopi sudah masuk ke dalam lambung Gandi, tapi bukannya membaik, kepalanya justru semakin terasa berat. Satu bungkus roti tidak membantu sama sekali. Efek kurang tidur dengan beban pikiran memang kombinasi paling mematikan dalam dunia kesehatan.

Gandi menarik maju sebuah map cokelat yang baru saja diberikan perawat mengenai salah satu pasien yang melakukan pemeriksaan sebelum operasi melahirkan. Di situ tertulis lengkap semua riwayat pemeriksaan dari trimester pertama hingga kandungan siap dikeluarkan. Pasien ini sebetulnya rujukan dari rumah sakit lain, jadi prosedur yang akan dilakukan jauh lebih detail karena kemungkinan adanya kesalahan saat operasi sangat besar.

Sedang sibuk berkutat dengan laporan di tangannya, ponsel pribadi pria itu berdering. Nama mama terpampang jelas dan secara spontan Gandi menarik napas panjang sebelum menggeser ikon hijau di layar.

"Iya, ma?"

"Gandi, Hara hilang!" Jerit mamanya di seberang. Nada suaranya terdengar begitu panik dan sangat cemas. "Mama tadi ke kamarnya, tapi kamar itu kosong dan masih rapi. Hara juga nggak ada di dapur atau di taman belakang. Hara menghilang."

TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang