Happy reading!
"Ciee yang hari ini lomba. Eh, pokoknya lo harus berusaha, percaya diri aja, ya, Dan. Gue doain deh, biar lo menang dan bisa banggain sekolah."
Ya, hari ini adalah hari yang dinantikan oleh Dande dan Panji, karena hari ini adalah perjuangannnya di mulai sesungguhnya.
Deg-degan, nervous, dan gugup.
Hal itu lumrah terjadi pada seseorang yang ingin mengikuti lomba. Terkadang seseorang juga ada yang harus membuang air kecil terlebih dahulu, atau minum air sebanyak mungkin.
Dande menatap Agin yang duduk di sebelahnya, tepatnya di kursi taman sekolah.
"Sok iye do'a lo dikabulin."
"Ih anjrot! Gue gini-gini kagak pernah lupa sholat, ye. Gue ini walaupun rada bandel dikit, tapi gue ingat Tuhan gue, Allah. Dijamin dijabah sama Allah, kalau gue yang do'ain tapi, hehehe." dengan songong dan percaya dirinya Agin, ia membanggakan dirinya.
Padahal sholat pun kalau tidak diteriakan mamanya, ia suka lupa mendadak.
Manusia nih, pas dengar adzan bilangnya nanti, taunya dah ngorok di kamar aja.
"Iyain, gue percaya deh. Do'ain, ya?"
"Siap. Tapi, jangan lupa, ya?" Agin tersenyum manis ke arah Dande.
"Apaan?" Dande menaikkan alisnya satu.
"Hm, chatime," ucap Agin santai. Dande menatap Agin dengan memelas.
"Bagus, lo cabut dulu bulu ketiak Pak Wono, ya. Ntar lo jual," sarkas Dande.
Pak Wono itu salah satu guru penjas yang paling enak banget kalau ngomong, enak julid-in orang. Apalagi ia juga guru kesiswaan, kalian tau 'kan tipe-tipe guru kesiswaan? Ya, begitulah.
Agin terkekeh, lalu tersenyum. Ia membisikkan Dande, "Pak Wono ada di dekat kita. Baguslah. Sebelum gue yang ditampol karena mencabut bulu ketiak hak milik istrinya, lo duluan. Hehehe, seri bund."
Dande mengedarkan kepalanya, lalu tatapannya berada tepat pada guru lelaki dengan perut buncit, tapi tinggi. Pak Wono sedang duduk di kursi taman berjarak dua tempat dari tempat Dande duduk.
Dande tersenyum. "Enggak masalah. Gue kena, lo kena. Kita, 'kan bestai."
Agin berdecak lalu menatap sinis Dande. "Enggak adil amat dunia, bro. Giliran kek gini aja, lo bilang sahabatlah, temanlah."
Dande merangkul Agin, lalu tersenyum begitu manis. "Peace, beb."
"Hm."
Setelah itu tak ada lagi percakapan, Dande yang sedang menunggu waktu keberangkatannya, memilih meluangkan waktunya untuk mengecek isi modul.
"Jam berapa sih lo berangkatnya?" Dande menatap jam baby-g nya yang berwarna lilac.
"Hm, maybe 12 menit lagi. Sabar, ya. Temenin gue tunggu mobilnya, gue kagak mau sendiri." Pinta Dande.
Agin menyeruput es botol yang tadi sempat ia beli di koperasi.
"Iyoo!"
"Sarkas bener, bun. Enggak jadi chatime nih."
"Eh gubluk, lu bisanya ngancem, ya! Gue tuh lagi doyan bener sama chatime. Tapi duit gue menipis bener deh."
"Doyan apa doyan? Ngidam kali," ucap asal Dande. Hal itu membuat Agin menyemburkan minuman yang baru masuk ke mulutnya.
"Gilak lo, Gin. Astagfirullahaladzim! Enggaknya gue minta itu minuman lo," Dande menatap shock Agin.
Agin menutup mulutnya. "Habisnya mulut lo kek mulut cosplay-an dakjal. Canda dakjal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang 3
Novela JuvenilOsis dan Ekskul Basket harus bersengketa karena ruang 3. Ruang sekretariat terluas itu diperebutkan Dande dan Panji untuk timnya masing-masing. Karena ruang terluas hanya tersisa satu, masing-masing dari keduanya bersaing merasa berhak atas ruangan...