"Teman itu ibarat simbosis mutualisme, bukan simbosis parasitisme!"
•~•~•~
Tringgggg
Bunyi bel di sekolah elit itu berdering gitu nyaring disetiap sudut ruangan.
Para guru menuntaskan mengajar disetiap kelas, tak lama kemudian para murid berlomba-lomba untuk menuntaskan isi perut yang mulai berbunyi.
Dua orang gadis remaja yang berada dalam kelas 11 Mipa A itu menutup bukunya, lalu memasukkan kembali ke dalam tas dengan rapi.
"Mau makan di kantin atau di kelas aja, Dan?" tanya gadis dengan rambut dikuncir satu.
Dande memandang gadis yang bertanya pada nya, lalu membalas, "Di kantin aja yah Gin? Soal nya gue lupa bawa minum."
"Boleh, yuk!" ajak gadis yang biasa di panggil Gin oleh Dande.
Aginta Meza, gadis manis dengan sifat ceria nya. Satu-satu nya teman yang begitu dekat dengan Dande, bahkan seperti saudara kembar yang selalu menempel. Kalau kata orang 'menempel bagai upil'.
Dua orang gadis cantik itu berjalan ke arah kantin sambil membawa bekal yang telah mereka siapkan untuk bekal di sekolah.
"Oh iya, Dan. Kemarin lo pulang sama siapa? Sama Al lagi?" Gadis yang sering dipanggil Agin itu bertanya sambil menekan kata 'lagi' pada akhir kalimat pertanyaan nya.
Dande tersenyum malu saat mendengar pertanyaan dari Agin. "Heheheh," kekeh Dande saat menanggapi pertanyaan dari Agin.
"Jadi bener?" tanya Agin kembali, Dande mengangguk.
"Kan gue udah bilang kalau-" ucapan Agin terpotong karena Dande meletakan telunjuk nya di depan mulut Agin sambil berucap
"Hussstt, iya gue tau kok, Gin. Tapi, yah gitu ... "
Agin menjauhkan jari telunjuk Dande dari mulut nya, lalu berdecak kecil. Saat ini mereka berhenti di koridor yang memang susah sepi.
"Whatever, Dande." balas Agin sambil mengangkat bahu, lalu berjalan kembali. Dande berjalan cepat untuk menyamakan langkah dengan Agin.
"Ihh ... lo jangan gitu dong, nanti manis nya hilang. Terus kalau si Kopi kabur gimana?"
"Opi, Dan bukan Kopi. Lo mau disuruh potong kambing, ha?" Ucapan Agin membuat Dande melotot.
"Ih enggak lah!! Kambing gue kan cuman si Anee, masih iya mau dipotong. Mana baru beli beberapa minggu lalu," balas cepat Dande.
Agin tertawa, lalu berucap, "lo tuh ada-ada aja tau nggak. Sampai sekarang gue masih heran sama lo, dari kecil sampai sekarang lo enggak pernah berhenti melihara kambing. Terus kalau kambing itu tua dan harus dipotong, lo pasti beli lagi"
Penjelasan dari Agin membuat Dande memukul pelan bahu Agin.
"Jangan ketawa lo, Gin. Gue tuh suka kambing ada alasannya." ungkap Dande.
"Apa?"
"yah, karena kambing itu lucu," balas ringan Dande. Agin menaikkan satu alis nya.
"Iya lucu, kayak lo, Dan." ejek Agin.
"ye lo mah sirik 'kan? Karena enggak punya kambing?" tanya Dande bertepatan saat mereka sampai di kantin.
Mereka memilih tempat favorit yang sudah di klaim oleh mereka, di ujung pojok kanan, tepat bagian stand nomor 1.
"Ehh!! Ngadi-ngadi ae lu ngek. Gue mah kalau mau kambing bisa beli. Tapi, sorry banget gue enggak minat buat melihara yang namanya kambing, yah." balas Agin penuh penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang 3
Roman pour AdolescentsOsis dan Ekskul Basket harus bersengketa karena ruang 3. Ruang sekretariat terluas itu diperebutkan Dande dan Panji untuk timnya masing-masing. Karena ruang terluas hanya tersisa satu, masing-masing dari keduanya bersaing merasa berhak atas ruangan...