Takdir Allah

557 64 8
                                    

Tatapan Zahra kosong tertuju pada pintu bertuliskan ICU, sesekali air mata nya jatuh dan dihapus nya dengan kasar, semua orang dia diamkan, pikirannya kini hanya satu yaitu nyawa umi dan abinya.

"Ra makan.." sudah beberapa puluh kali Marwah mengucapkan kata itu namun Zahra hanya diam dan menangis.

"Kakak suapin ya," Marwah menyodorkan sendok namun Zahra tak kunjung membuka mulutnya.

"Zahra, kamu bisa sakit, umi dan abi akan sedih liat kamu kaya gini,"

Mendengar kata umi dan abi nya disebut Zahra menoleh pada Marwah dan mengangguk mengiyakan bahwa dia ingin makan demi orang tuanya.

Naila dan Siti yang baru saja datang melihat keadaan Zahra yang sudah kusut merasa sangat kasian, mereka ingin menghampiri Zahra tapi keadaan masih seperti ini.

Pintu ICU terbuka terlihat suster dengan wajah cemas memanggil manggil nama dokter, semua orang pun berdiri kaget dan menghampiri suster tersebut.

"Ada apa Sus?" tanya Aksa tak kalah cemas.

"Keadaan kedua pasien saat ini sangat kritis."

Lalu datanglah dokter dengan tergesa gesa masuk ke dalam ruang ICU dan menyeruh suster untuk menutup pintu rapat dan tidak boleh ada keluarga pasien yang masuk.

"Lakukan semua nya yang terbaik, berapapun biaya nya akan saya
bayar!" tegas Aksa pada dokter sebelum pintu ICU tertutup.

Beberapa jam terlewati, perjuangan dokter sudah sampai titik akhir, gelar nya sebagai dokter tidak bisa menyelamatkan nyawa kedua orang tua Zahra.

Lampu ICU padam dan terlihat dokter membuka pintunya seketika semua orang berdiri dari duduknya dan menghampiri dokter itu.

"Keluarga pasien atas nama Fahri dan Maryam," seru dokter sambil melepas sarung tangan medis yang melekat pada tangannya.

"Saya anak nya dok," seru Aksa.

"Dengan sangat berat hati, mohon maaf kami tidak bisa menyelamatkan kedua pasien."

"M-maksud dokter umi dan abi sudah meninggal?" tanya Zahra bergetar.

Dokter itu mengangguk mengiyakan pertanyaan Zahra.

"Inalilahi wa inna ilahi rojiun," ucap semua bersamaan
Zahra dia langsung masuk kedalam untuk melihat jenazah kedua orang tuanya.

"ANDA DOKTER MACAM APA? HAH! SAYA SUDAH BILANG SELAMATKAN ORANG TUA SAYA BERAPAPUN BIAYA NYA SAYA AKAN BAYAR!" Rahang Aksa tampak mengeras dia menunjuk kasar dokter tersebut.

"Mohon maaf pak, saya hanya dokter, tugas saya hanya menyembuhkan dengan semaksimal mungkin, soal nyawa sudah di atur oleh yang di atas." tegas dokter itu.

Aksa dia menggusar rambut nya kasar, hati nya sangat hancur, merasa bersalah atas dirinya sendiri sesekali meluapkan emosinya dengan memukul tembok.

"Kenapa Engkau mengambil keduanya dariku Ya Allah sementara aku sama sekali belum membahagiakan mereka." ucap Aksa penuh dengan derai air mata.

Di dalam ruang ICU Marwah serta Zahra menangis tak henti-hentinya, Zahra terkulai lemah di lantai sementara Marwah terus memeluk kedua orang tuanya.

Zahra bangkit dan menghampiri kedua orang tuanya yang sudah ditutupi oleh kain putih.

"Umi, Abi Ini Ara," ucap Zahra tersenyum ke arah keduanya.

"Ara mohon bangun yah, Ara gak bisa tanpa kalian, Ara janji akan jadi anak baik mi, bi," racau Zahra menatap keduanya bergantian.

"UMI!" teriak Zahra dan menepuk nepuk pipi uminya berharap mata tertutup itu kembali terbuka walau hanya sedetik untuk melihatnya disini.

"ABI, lihat bi Ara disini! Abi udah janji bakal jadi wali nikah Ara saat Ara menikah nanti, Bi bangun dan lihat Ara!" namun tak ada respon sama sekali dari abinya hanya terlihat satu tetes air mata mengalir dari sudut matanya.

"ABI! UMI! ARA GAK MAU KALIAN PERGI!" Usai mengucapkan itu Zahra lemas untung saja tepat di belakang ada ustadzah kulsum yang menangkapnya lalu memeluknya.

Marwah nampak sedikit tegar dia pasrah akan kehendak Allah, "Umi, Abi Marwah ikhlas, Marwah yakin kalian akan lebih bahagia disisi-Nya, terimakasih pengorbanan umi dan Abi untuk marwah selama ini, Insya Allah Marwah akan penuhi amanah kalian utnuk Marwah, Marwah sayang sama kalian." ucap Marwah serta mengecup kening umi dan abinya.

Diambang pintu Aksa sudah tak kuasa menahan tangisnya, dia berlari menghampiri orang tuanya. "Maafin Aksa Mi, Bi, Aksa bodoh! Aksa gak berguna! Seharusnya Aksa bawa kalian ke rumah sakit lebih bagus dari ini, Maafin Aksa..."

"Aksa jangan seperti ini nak, ini semua takdir Allah mau seberapa bagus rumah sakit dan seberapa mahal biaya nya, kalau Allah sudah menghendaki seseorang untuk pulang kita bisa apa, istigfar nak! Isttigfhar!" Kyai Zikra mencoba menyadarkan Aksa atas perbuatanya yang selalu menyalahkan diri sendiri dan takdir.

Sekarang giliran Ustadzah kulsum bersama kyai Zikra yang melihat kedua sahabatnya sudah lemah tak berdaya, ustadzah kulsum berusaha menahan tangisnya.

"Ente sahabat terbaik ane Ri, Ane tau kedermawanan hati kalian berdua, orang baik kaya kalian Insya Allah surga menanti Ri, dan jangan khawatir amanah kalian Insya Allah akan kami laksnakan," tutur Kyai Zikra dan menghapus air matanya.

_____

Pemakaman telah selesai dilaksanakan. Makam mereka di tempatkan berdampingan, Zahra mengusap batu nisan umi serta abi nya perlahan dia mulai ikhlas melepas kepergian kedua orang tuanya begitupun Marwah dan Aksa.

Zahra nampak enggan untuk meninggalkan makam, sampai Naila dan Siti mencoba untuk membujuk Zahra untuk pulang.

"Ra aku tau ini berat untuk kamu, tapi jangan terlalut dalam duka ini, masih ada aku,siti dan keluarga kamu yang lainnya, kami semua bakal selalu ada buat kamu,"

"Iya bener Ra, pulang yuk udah mau gelap ini, kamu gak takut nanti kalau ada wewe gom....hmppp." belum melanjutkan ucapan, mulut Siti keburu di bekap oleh Naila.

Naila nampak melotot ke arah Siti, nampak tidak tau situati saja.

"Diem atau aku kirim kamu ke Ambon!" Bisik Naila, mendapat wejangan dari Naila Siti langsung diam tak berdaya padahal Siti tidak tahu letak kesalahannya dimana.

"Udah Ra, pulang yuk." Ajak Naila serta Siti.

"Makasih ya Nai, Sit."

______

Typo bertebaran.

Nunggu ga? Nunggu ga? Nunggu lah masa enggak.

Selamat membaca.







AZZAHRA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang