***
Sudah dua minggu lebih sejak javas mengantarkan wanita yang katanya dicinta itu tepat di depan rumah sederhana berlantai dua, yang tidak lain adalah rumah Desya. Pria itu tidak lagi pernah menampakkan batang hidungnya dihadapan Desya.
"kamu kok nganterinnya sampe ke sini sih? Nanti kalau dilihat mama gimana? Tadi aja katanya diturunin di dua rumah sebelum rumah aku" omel Desya saat itu."gak bisa sya, nanti kepikiran terus. 'Udah nyampe rumah apa belum' Bisa-bisa usaha gue buat jauhin lo malah gak berhasil, saking cemasnya" Javas tertawa dipaksakan, tawa javas meremas hati Desya.
"Kenapa ngelihatin gue gitu banget sih sya? gak rela pisah sama gue? Tenang aja sya, kalau kita memang berjodoh, seberat apa pun halangan didepan kita, sejauh apa pun kita berpisah dan sekuat apa pun usaha kita buat menjauh. Pasti bakal ada jalan untuk kita bersama" ujar Javas sok bijak dengan mata mengerling lucu. Dia tidak sadar sudah membawa telapak tangan Desya kedalam genggaman tangannya, yang makin mengerat sesaat setelah ucapan terakhirnya.
Desya yang sempat menatap Javas sendu, kembali merasa jengkel kemudian memutar bola matanya jengah "Ngelantur... Lepasin tangan aku" sengit Desya menarik tangannya dari genggaman Javas yang mengerat.
Javas yang sedang menatap Desya dalam, tersentak saat wanita itu menarik tangan dari genggamannya. Melepaskan tangan wanita itu dengan berat hati, Javas kemudian mengelus rambut Desya lembut.
"Baik-baik yah sya" nada Javas terdengar serius, ekspresi tengilnya juga entah pergi kemana. Terkadang Desya bingung harus merespon pria ini bagaimana.Lamunan Desya buyar saat bunyi nyaring ponselnya terdengar. Ia bangkit dari ranjang kemudian berjalan menuju meja rias, untuk melihat siapa yang menelfonnya malam-malam begini. Seingatnya dia bukanlah orang yang bersosialisasi dengan baik, jadi saat ada yang menghubunginya seperti sekarang ini, dia jadi parno. Duduk di kursi meja riasnya, kemudian melihat nomor baru, seperti biasa ia akan mengabaikannya. Tetapi sepertinya orang yang menghubunginya tidak kenal lelah, ponselnya masih terus berbunyi dengan panggilan dari nomor yang sama.
Menggeser layar untuk menjawab sipenelfon yang mengganggu.
"Siapa ini!" Dia berusaha agar terdengar ketus."Hai... sya" hatinya mencelos. Suara itu Desya mengenalnya, apakah ia berhalusinasi? Tidak mungkin Javas menghubunginya, setelah dua minggu menghilang dan berjanji tidak akan mengganggunya.
"Siapa?" Dia bertanya lagi, pertanyaan yang sama tetapi dengan nada yang mulai melunak. Didalam hatinya yang paling dalam, berharap bahwa pria diseberang sana yang menghubunginya ini adalah Javas.
"Lo gak kenal suara gue sya? Tega banget" Javas yang tengil kembali lagi. Sesaat Desya sempat ragu bahwa suara yang menyapa gendang telinganya selembut tadi itu Javas, tetapi emang pria itu. Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman dan dadanya terasa lega entah karena apa.
"Ya. Kenapa?" Desya menjaga nada suaranya, dia tidak boleh terdengar terlalu bersemangat.
"Gue kangen banget sya..." nada Javas melembut. Desya juga dapat mendengar kegugupan di suara pria itu, apakah dia tidak salah dengar?
"Gak usah ngada-ngada deh Javas" tetapi dia tetap mempertahankan keketusannya. Tidak mau pria itu mengetahui apa yang dirasakannya sekarang.
Tidak ada sahutan seperkian detik sebelum kemudian suara kekehan javas terdengar renyah "baru kali ini gue denger lo nyebutin nama gue Sya" Javas sempat membeku saat mendengar namanya disebut langsung oleh Desya, ia merasakan dadanya bergemuruh kencang.
Tidak ada jawaban berarti dari Desya, wanita itu terdiam tidak tau harus merespon bagaimana ucapan Javas yang terdengar nelangsa ditelinganya.
"Kamu lagi apa?" Javas bertanya kemudian saat tidak mendengar suara Desya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Love Is Crazy
Romance21+ Mereka berdua seperti pasangan psikopat yang menikmati kesakitan dan gemar menyakiti diri sendiri atas nama cinta. Desya seperti kehilangan kewarasan kerena menikmati kesakitan yang didapat dari Javas dan pastinya akan disembuhkan kembali oleh p...